Menikmati paparan materi pornografi secara terus-menerus bisa menyebabkan kecanduan (adiksi), yang pada akhirnya mengakibatkan jaringan otak mengecil dan fungsinya terganggu. Adiksi pornografi juga menimbulkan gangguan memori.
Hal itu terungkap dalam Seminar mengenai Dampak Pornografi terhadap Kerusakan Otak, di Jakarta, Senin (2/3). Salah satu pembicara, ahli bedah syaraf dari Rumah Sakit San Antonio, Amerika Serikat, Donald L Hilton Jr MD, mengatakan bahwa adiksi mengakibatkan otak bagian tengah depan –disebut ventral tegmental area (VTA)– secara fisik mengecil.
Penyusutan jaringan otak yang memproduksi dopamine (bahan kimia pemicu rasa senang) itu, menurut dia menyebabkan kekacauan kerja neurotransmiter yakni zat kimia otak yang berfungsi sebagai pengirim pesan. Pornografi, tambahnya, menimbulkan perubahan konstan pada neorotransmiter dan melemahkan fungsi kontrol.
“Ini yang membuat orang-orang yang sudah kecanduan tidak bisa lagi mengontrol perilakunya,” tegas Hilton seraya menambahkan bahwa adiksi pornografi juga menimbulkan gangguan memori.
Menurutnya, kondisi tersebut tidak terjadi secara cepat dalam waktu singkat melainkan melalui beberapa tahap, yakni kecanduan yang ditandai dengan tindakan impulsif, ekskalasi kecanduan, desensitisasi, dan akhirnya penurunan perilaku. “Kerusakan otak akibat kecanduan pornografi adalahyang paling berat, bahkan lebih berat dari kecanduan kokain,” katanya.
Meski demikian, kata Hilton, kini ada harapan kerusakan otak bisa dipulihkan hingga mendekati normal dengan berbagai metode penyembuhan. Terapi yang dapat digunakan untuk memulihkan kerusakan otak akibat kecanduan, antara lain, pemberian motivasi pribadi untuk memacu semangat penderita guna melepaskan diridari kecanduan, dan penciptaan lingkungan yang aman bagi pecandu dengan menurunkan secara drastis aksesnya terhadap pornografi.
Selain itu, tambahnya, pembentukan kelompok pendukung dengan konselor dan terapis serta terapi peningkatan spiritualitas juga sangat bermakna dalam upaya pemulihan. “Penelitian menunjukkan, spiritualitas –agama apapun– akan mempercepat proses pemulihan,” kata Hilton.
Berbagai Media
Di tempat sama, Ketua Pelaksana Yayasan Kita dan Buah Hati, Elly Risman, mengungkapkan hasil pertemuan konselor remaja antara yayasanyang dia pimpin dengan 1.625 siswa kelas IV-VI sekolah dasar wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi tahun 2008. Terungkap, antara lain, 66 persendari mereka telah menyaksikan materi pornografi lewat berbagai media.
Sebanyak 24 persen di antaranya lewat komik, 18 persen melalui games, 16 persen lewat situs porno, 14 persen melalui film, dan sisanya melalui VCD dan DVD, telepon seluler, majalah, dan koran. Mereka umumnya menyaksikan materi pornografi karena iseng (27 persen), terbawa teman (10 persen), dan takut dibilang kuper alias kurang pergaulan (4 persen).
Ternyata anak-anak itu melihat materi pornografi di rumah atau kamar pribadi (36 persen), rumah teman (12 persen), warung internet (18 persen), dan rental (3 persen). “Kalau kita jumlahkan, yang melihat di kamar pribadi dan di rumah teman, berarti satu dari dua anak melihatnya di rumah sendiri,” ujar Elly.
Bagaimana dengan Jatim? Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jatim belum memiliki data hasil survei tentang banyaknya remaja yang melakukan tindakan asusila sejak dini akibat menonton film porno. Namun Ketua LPA, Priyono Adi Nugroho, ketika dihubungi Surya, Senin (2/3) malam, menyebutkan, besar kemungkinan hal tersebutjuga terjadi di Jatim.
”Hal ini berdasar kasus-kasus seksual anak yang dilaporkan ke LPA. Di antaranya pengguguran kandungan dan pelecehan seksual terhadap mereka dari orang lain yang berusia sama,” kata Priyono.
Sedangkan menurut Dra Astrid Wiratna, psikolog Ubaya, kondisi seperti ini sudah menjadi biasa, seolah ’sudah zamannya’. ”Baik itu karena peningkatan budaya, teknologi, dan cara pikir. Kondisi ini sudah mulai muncul sejak 10 tahunyang lalu,” jelasnya.
Menurut Astrid, saat ini, orang tua tidak boleh munafik. Mereka tidak bisa mengharapkan sesuatu seperti yang ada di otak mereka, seperti perjalanan hidup orang yang lurus-lurus saja. Orang tua, tegasnya, harus melihat kondisi kenyataan yang ada, dimana saat ini paparan teknologi dan kondisi sosial telah memberi pengaruh pergaulan yang buruk kepada anak-anak mereka.
”Maka yang diperlukan bukan lagi soal tabu atau larangan tapi lebih dengan memberi tanggung jawab secara individu kepada anak-anak mereka. Memberikan informasiyang terbuka tentang kondisi sosial yang ada terkait dengan masalah seksualitas anak-anak,” ungkap Astrid.
-------- sumber: kompas
Masukkan Code ini K1-3331A9-2
untuk berbelanja di KutuKutuBuku.com
Download Internet Manager, biar download lebih cepat
Download WinRAR, pembaca RAR File
Tidak ada komentar:
Posting Komentar