27.10.10

UANG JAPUIK


(Helat Perkawinan Pariaman “Tempo Doeloe”)

Lain lubuk lain ikannya, lain padang lain belalangnya, demikian pula adat perkawinan di banyak nagari Minangkabau ini termasuk Pariaman.
Demikian juga kalau hendak membicarakan Uang Japuik (Uang Jemputan) yang amat terkenal pada adat perkawinan di wilayah Pariaman, terlebih dahulu kita harus membahas liku-liku adat perkawinan di daerah tersebut..


“Tempo doeloe” bila suatu keluarga atau penduduk kota kecil Pariaman mempunyai seorang anak perempuan, baru saja menginjak umur tujuh tahun, ibu-bapaknya mulai berfikir untuk masa depan sang anak. Mereka mulai bersiap-siap, misalnya menyediakan benang agak setungkal, kain agak secabik. Semenjak itu mereka mulai berhemat mengencangkan ikat pinggang mengumpulkan uang untuk mendirikan sebuah rumah baru atau memperbaiki rumah mereka yang telah coyoh1).
Adalah merupakan aib bagi masyarakat Pariaman bila berhelat atau bermenantu di rumah yang coyoh. Karena itu malanglah nasib seorang perawan berorang tua miskin, sebagai dikatakan sebuah ungkapan “gadis di bawah rumah yang runtuh”.
Semenjak itu pula sang ibu-bapak mendidik anaknya mengerjakan apa saja yang bermanfaat yang berkaitan dengan urusan suatu rumah tangga, seperti masak memasak, jahit menjahit dan sebagainya, agar nanti tatkala bersuami tidak canggung lagi.

Sekolah Dan Mengaji
Ketika Pemerintah Belanda membuka sekolah di kota kecil ini, banyak pula orang tua menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah tersebut. Pagi hari bersekolah di sekolah biasa, lalu pada petang atau malam hari anak-anak itu disuruh pula belajar agama (mengaji) agar kelak menjadi orang yang saleh.
Umumnya seorang gadis di jaman dulu baru dinikahkan ketika berumur sekitar 20 tahun, namun kini (sekitar tahun 1930) bila telah berumur 15 tahun.
Setahun atau dua tahun sebelum dipersuamikan, anak perawan itu dipingit. Ia tidak diizinkan ke luar rumah seorang diri lagi. Bila ingin ke luar juga, harus ditemani oleh seorang wanita yang lebih tua dan telah bersuami.
Selama masa pingitan tersebut, ia diajar dan disuruh menjahit segala macam keperluan saat menikah kelak, misalnya membuat sarung bantal termasuk untuk kursi, taplak meja, kelambu, hiasan dinding, kain pintu, slof2) kain dan sebagainya.
Adalah menjadi kebanggaan dan kemuliaan bagi sang penganten serta ibu dan bapaknya, bila sekalian yang dipakai saat menjadi penganten kelak adalah jerih payah atau hasil usaha keringatnya sendiri, sungguhpun yang dibuatnya itu tidak sebaik yang dijual di toko-toko.
Sebaliknya merupakan aib dan menjadi gunjingan anak nagari, bilamana yang dipakai sang penganten pada hari pernikahannya itu dibeli atau diupahkan karena bapaknya mampu atau seorang hartawan.

Memilih Calon Menantu
”Pandang dekat ditukikkan, pandang jauh dilayangkan”, demikian kata sebuah peribahasa. Sebenarnya sudah sejak lama seorang yang diinginkan untuk menjadi calon suami si upik menjadi perhatian orang tua sang perawan. Lalu sebulan atau tiga bulan sebelum rencana suatu pernikahan, diadakan pertemuan antar keluarga yang dihadiri seluruh karib bait seperti ibu-bapak, ninik mamak dan lain-lain. Keluarga yang hampir dijemput, yang jauh dengan surat kiriman. Mereka diminta datang bermusyawarah untuk menentukan jodoh sang perawan.
Setelah diperoleh kata sepakat, lalu ditetapkan mengutus seseorang ke rumah orang tua sang perjaka untuk menyampaikan maksud tujuan keluarga sang perawan.
Beberapa hari kemudian, ibu-bapak, mamak dan keluarga dekat lainnya dengan membawa kampil sirih3) sebagaimana yang dilazimkan oleh adat datang ke rumah orang tua sang perjaka. Sementara itu karib bait sang perjaka telah siap pula menunggu rombongan yang datang tersebut.
Singkat kata dalam pertemuan itu ditanyakan, apakah pihak yang menunggu sudi melepas anak kemenakan mereka menjadi menantu pihak yang datang. Bilamana suka maka dibuatlah perjanjian.
Jika anak (sang perjaka) bergelar Sutan, Sidi atau Bagindo, ditanyakan berapa suka mereka menerima uang dari pihak yang datang. Sejumlah uang inilah yang disebut UANG JEMPUTAN. Banyaknya tergantung dari martabat keluarga serta profesi sang perjaka. Jika ia berniaga, makan gaji atau guru agama, tinggi uang jemputannya.
Sebaliknya jika anak itu tidak bergelar Sutan, Sidi atau Bagindo, orang yang punya rumah (pihak lelaki) memberi uang kepada pihak yang datang sebagai di atas pula.
Namun demikian ada pula pihak yang bergelar Sutan, Sidi maupun Bagindo tidak mau menerima uang tersebut walau sepeser sekali pun. Kadang-kadang malah memberi sejumlah uang kepada pihak yang datang. Tentu saja cara semacam itu dilakukan atas dasar kesepakatan kedua belah pihak atau tidak sebagaimana yang dilazimkan oleh adat. “Habis adat karena kerelaan” kata peribahasa.

Usai kesepakatan mengenai besar atau jumlah uang jemputan, pihak yang datang menyerahkan sebentuk cincin sebagai tanda sah. Kesepakatan tersebut tidak boleh diungkai lagi. Jika mungkir akan dihukum secara adat. Inilah yang dinamakan bertanda-tandaan.
Uang jemputan baru diserahkan pada saat berhelat kelak. Demikian pula cincin yang diserahkan sebagai tanda sah akan dikembalikan lagi saat berhelat.

Keterangan
Dalam Adatrecht Bundels XXXV – Sumatra, Serie H – Het Minangkabausche Gebied No. 67, halaman 315 disebutkan, di jaman dahulu Uang Jemputan terdapat di seluruh Minangkabau.
Dikatakan “Panghulu tarima ¼ bahagian uwang japutan laki anak buahnya yang jolong kawin dengan parampuan yang jolong berlaki, ia itu uang japutan itu datang dari kaum parampuan yang mau dikawini laki-laki itu” (Penghulu menerima ¼ bahagian uang jemputan laki-laki atau anak buah yang mula kawin dengan perempuan yang mula bersuami, yaitu uang jemputan itu datang dari kaum perempuan yang mau dikawini laki-laki itu).


Menentukan Hari - Berkampungan
Sebulan sebelum ditetapkan hari pernikahan, kedua belah pihak yang berkepentingan berhimpun bermusyawarah mencari hari yang baik untuk melaksanakan helat tersebut. Musyawarah dihadiri selain ibu-bapak, ninik mamak, orang tua-tua dan lain lain dari kedua belah pihak, juga oleh cerdik pandai dan orang-orang terpandang dalam nagari. Musyawarah inilah yang dinamakan bakampuangan (berkampungan – berkumpul-kumpul).
Pokok pembicaraan ialah, selain hari, tanggal dan bulan apa helat itu dijadikan (dilangsungkan), juga bentuk atau jenis helat itu sendiri. Apakah akan diadakan helat besar atau helat kecil.
Kalau yang dijadikan itu helat besar, bakajo (berkerja) namanya. Lama bakajo ini sekurang-kurangnya tiga hari tiga malam. Didirikan adat secukupnya, disembelih kerbau atau sapi serta diadakan pula permainan anak nagari seperti berebab, pencak silat dan sebagainya.
Tidak sembarang orang yang boleh mengadakan helat besar ini. Yang boleh mengadakan hanyalah urang baradat (orang beradat) dan bangsawan saja.
Helat kecil tidaklah sebesar helat besar dan tidak mendirikan adat secukupnya, sungguhpun pesta perkawinan itu dilaksanakan selama tujuh hari tujuh malam.

Jaman sekarang (sekitar tahun 1930) boleh dikatakan tidak ada lagi orang mengadakan helat besar, hanya helat kecil saja yang tidak banyak mengeluarkan biaya. Bahkan di jaman maleise (jaman serba sukar) ini sudah menjadi kebiasaan pula berkenduri, yaitu mamanggia (memanggil – mengundang) orang sepenuh rumah saja. Helat berkenduri ini biasanya diadakan dua hari dua malam, yaitu pada hari mamanggia (hari memanggil) dan hari baralek (hari berhelat).
Setelah disepakati hari, tanggal dan bulan apa helat akan dilangsungkan, ditentukan pula hari batagak pondok (mendirikan pondok) namanya, yaitu mendirikan sebuah bangsal besar yang terbuat dari bambu beratap rumbia tempat orang berkerja seperti masak memasak dsb. Biasanya bertegak pondok ini dilakukan tiga hari sebelum hari pernikahan.
Selesai musyawarah, hidangan pun ditating, maka makanlah orang yang berkampungan tersebut.

Menjelang Pernikahan
Semenjak itu yakni semenjak usai berkampungan, ibu-bapak serta kaum famili sang perawan berkerja keras mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan pernikahan yang tidak lama lagi akan dilangsungkan.
Mulai saat itu pula pihak penganten wanita atau pihak si pangkalan mamanggia berkeliling kampung, yakni menaiki setiap rumah dengan membawa kampia siriah (kampil sirih) sebagaimana yang dilazimkan oleh adat. Demikian pula kaum bapak seperti sang ayah dan para mamak berkeliling seperti di atas pula mamanggia kaum laki-laki di kampung itu. Yang hampir atau yang dekat-dekat dilakukan secara lisan, sedangkan yang jauh dikirimi surat.

Tiga hari sebelum helat dilangsungkan, orang-orang di sekitar rumah si pangkalan berdatangan membantu mendirikan pondok, sebagaimana yang disepakati pada hari berkampungan di atas. Biasanya dibuat dua pondok, masing untuk kaum laki-laki dan perempuan. Sedangkan sebelum itu, yaitu kira-kira seminggu sebelum pernikahan, selain famili, kaum ibu atau para tetangga yang berdekatan datang membantu mengerjakan apa saja yang patut mereka lakukan.
Ruang sebelah depan yang disebut langkan dihiasi dengan berbagai bunga dan sebagainya.
Demikian juga dinding ruang sebelah dalam yang disebut tepi ditutup dengan tabir berwarna putih, kuning dan merah. Dilotengnya dibentangkan selembar langit-langit, yakni semacam tabir panjangnya sekitar dua meter dan lebarnya kira-kira satu meter. Tepi langit-langit itu diberi tirai berjambut, lebarnya kira-kira sejengkal dan lebarnya sekitar tiga jari.
Di bawah langit-langit terdapat sebuah tempat tidur berkelambu kain sutra. Kelambu ini dihiasi pula dengan manik-manik dan sebagainya. Demikian juga alas kasur, sarung bantal dan guling, terbuat dari bahan sutra pula. Inilah yang dinamakan katiduran (ketiduran).
Di lantai di depan katiduran dibentangkan sebatang kasur beralaskan kain sutra yang dihiasi jahitan motif bunga serta sesusun bantal bersarung sutra bersulam pula.
Di lantai di depan kasur itu dibentangkan pula sehelai permedani dan didepannya lagi tikar-tikar yang bagus.
Ruang sebelah ke dalam yang disebut ruang tengah dihiasi pula dengan tabir, langit-langit dan tirai, akan tetapi tidak berkasur seperti di ruang tepi. Di situ didirikan dua rangka kayu setinggi tempat tidur yang letaknya berhadapan dan tidak jauh di seberang ketiduran. Kedua rangka tersebut dihubungkan dengan rangka kayu pula yang semuanya dibalut dengan kain warna-warni. Diatasnya ditempatkan tiga hiasan berangka kayu yang ditutup atau ditempel dengan aneka kertas warna-warni pula. Tinggi hiasan ini sekitar setengah meter, bentuknya seperti menara dan bundar (gobah mesjid). Inilah yang dinamakan cermin-cermin.
Di bawah cermin-cermin ini ditempatkan dua kursi beralaskan kain sutra untuk penganten duduk bersanding.
Jika yang berhelat itu urang patuik (orang patut – orang terkemuka), dibuat pula bantal gadang namanya yang ditempatkan di sebelah kanan tempat tidur di ruang tepi.
Bantal gadang ini terbuat dari rangka kayu, tingginya sekitar satu meter, panjang dan lebarnya sekitar setengah meter, dibalut dengan kain berwarna dan bagian sebelah depannya bersulam benang emas. Bagian atas bantal gadang ini ada yang dibuat runcing seperti piramida dan ada pula berbentuk atap rumah gadang Minangkabau.
Kamar anak daro (mempelai wanita) dihiasi seindah mungkin, lengkap dengan tempat tidur besi atau koi buatan Surabaya atau Inggris, berkelambu sutra indah, meja kursi, almari pakaian pakai cermin serta hiasan dinding.

Helat Perkawinan
Sehari sebelum berhelat kesibukan di rumah calon penganten wanita itu meningkat tajam dari hari-hari sebelumnya.
Semenjak pagi hari kaum ibu sibuk membantu mengerjakan apa saja yang berguna atau yang diperlukan untuk hari itu dan keesokan harinya. Demikian juga kaum bapak pihak si pangkalan.
Sedangkan malam sebelumnya diadakan permainan anak negeri. Yang biasa digelar ialah berebab dan pencak silat. Karena itu penuh sesaklah halaman si empunya hajat. Usai pergelaran, dihidangkan minuman.
Keesokan hari pada hari berhelat, berdatanganlah orang-orang yang dipanggil, baik yang jauh maupun dekat.
Tamu atau orang-orang yang datang itu menyumbang uang, kain baju, pecah belah dsb. Semua pemberian itu diserahkan kepada yang punya hajat. Inilah yang dinamakan panggilan. Sekalian mereka yang datang itu diberi makan minum secukupnya.
Hari itu pula anak daro (penganten wanita) didandani seelok-eloknya secara adat. Padanya dipakaikan baju sutra hijau locuan atau merah bersulam bermotif bunga dengan benang makau, berkain songket bersulam benang emas. Berselempang kain sutra warna merah berhiaskan motif kembang dari benang emas yang disebut tokah.
Pada kedua lengan dan jari tangan sang penganten dipakaikan gelang serta cincin berpermata. Lehernya dihiasi beberapa untaian kalung atau dokoh. Demikian juga dikeningnya seuntai dokoh berpermata pula. Sedangkan di kepala atau sanggul sang penganten tersusun tiga baris tusuk kundai. Tusuk kundai atau sunting ini ada yang terbuat dari emas dan ada pula dari perak.
Usai memakai, anak daro dituntun ke ruang tengah dan didudukan di kursi yang telah tersedia. Ia dihadapi oleh beberapa pasumandan (pesemandan – pengiring penganten) yaitu wanita-wanita muda yang telah bersuami yang berpakaian dan berdandan mirip penganten. Tak obahnya bagaikan ratu di mahligai kencana dengan dayang-dayangnya.
Induak bako yaitu sekalian famili pihak ayah sang penganten datang bersama-sama berarak-arak dengan membawa berbagai macam hadiah (kado) seperti cawan pinggan, gelas minum, tembala atau tempat cuci tangan, kain baju, slof (sandal) dan sebagainya untuk anak pisangnya (sang penganten terhadap sekalian famili ayahnya). Inilah yang dinamakan bainduak bako.
Biasanya hari perhelatan itu diramaikan pula dengan musik tradisionil atau pun musik cara barat. Namun demikian ada pula yang tidak melakukannya.

Peredaran zaman membawa pula berbagai perubahan. Misalnya, belakangan ini muncul pula pakaian penganten model baru, yaitu “pakaian penganten model Arab” yang lebih sederhana dan tidak banyak pula mengeluarkan biaya. Model pakaian Arab ini diprakasai oleh Bundo Siti Maryam, seorang guru mengaji terkemuka di kota kecil ini.
Penganten wanitanya berseluar (celana panjang) dan bagian kaki seluar sebelah bawah dihias dengan sulaman benang makau (benang sulaman emas). Bajunya model pakaian wanita bangsa Turki yang berhiaskan sulaman benang makau. Bagian kepala ditutup penuh dan dihiasi pula dengan dokoh permata.
Selain gelang, cincin, kalung, penganten mengenakan sepatu. Jadi tidak bersandal (selop) dengan biasanya.

Malam hari datang kaum laki-laki memenuhi panggilan yang punya hajat. Mereka menyumbang uang saja dan tidak makan minum. Besar sumbangan atau pemberian itu berkisar antara dua puluh lima sen dan adakalanya sampai sepuluh rupiah, tergantung hubungan mereka dengan yang punya hajat.
Singkat kata semua biaya perhelatan dilunasi oleh kaum laki-laki yang datang itu.
Berhubung serangan malaise (sekitar tahun 1930), sumbangan semacam itu tidak seperti jaman dahulu lagi.
Malam itu di ruang tepi berlangsung pula zikir rebana yang diikuti sekitar 15 hingga 20 orang.

Menjemput Penganten Pria
Malam itu pula ayah serta mamak sang penganten mengutus dua atau tiga orang laki-laki ke rumah orang tua calon marapulai (penganten pria). Mereka membawa pakaian selengkapnya termasuk sepasang sepatu, sapu tangan sutra, kampil rokok, kampil sirih serta uang jemputan.
Mereka juga membawa tungketan yaitu beberapa bentuk cincin yang diikat kain kuning. Banyak cincin tungketan tergantung tinggi rendahnya martabat kaum tersebut. Kalau orang keturunan atau bangsawan, tungketannya lima sampai tujuh bentuk cincin. Akan tetapi kalau orang biasa satu hingga tiga bentuk cincin saja.
Di rumah marapulai tidak diadakan helat seperti di rumah anak daro, hanya berkenduri saja memanggil orang sepenuh rumah dan memintakan doa selamat. Demikian pula rumah marapulai tidak dihias seperti rumah anak daro, hanya ruang tengah saja didandani. Di ruangan ini dibentangkan tabir, langit-langit, tempat tidur dan didepannya digelar tikar dan dua kursi.

Ketika utusan itu sampai di rumah ibu mempelai pria, mereka disambut oleh segenap famili fihak yang menunggu. Sembari menyerahkan sekalian bawaan, disampaikan pula bahwa mereka diutus oleh mamak dan bapak anak daro menjemput marapulai untuk dipersandingkan.
Pihak atau keluarga marapulai mengatakan persetujuannya. Lalu menyuruh si buyung yang akan menikah memakai dan berhias, yakni bersarung kain berhias benang makau, berbaju jas dan bersepatu seperti biasa. Tidak ketingalan pula sebuah arloji berantai emas dan sebentuk cincin permata.
Namun demikian ada pula marapulai memakai baju arab lengkap dengan serban atau pun pakaian jenis lainnya.
Rombongan marapulai yang diiringi sekitar dua puluh pasumandan serta pengiring lainnya berarak-arak berjalan kaki ke rumah anak daro.
Biasanya arak-arak ini diramaikan pula musik rebana atau musik gendang melayu yang disebut tumgadumbak oleh masyarakat Pariaman.
Sampai di rumah penganten wanita, rombongan besar ini disongsong oleh seorang wanita yang membawa cerana berisi sirih pinang selengkapnya.
Setelah sampai di depan tangga rumah, marapulai ditaburi dengan beras rendang dan ujung sepatunya dibasuh pula dengan air dari sebuah gelas khusus.
Kemudian marapulai didudukkan di kasur yang terbentang di ruang tepi. Sementara itu pesemandan pengiring marapulai duduk di ruang tengah berhadapan dengan penganten wanita (anak daro).
Tidak lama setelah itu nikahpun dilangsungkan oleh ayah anak daro yang disaksikan oleh pegawai mesjid berikut famili kedua belah pihak serta orang banyak.
Selesai nikah orang berzikir rebana, lalu berdiri membaca asyrakal yaitu memuji kelahiran Yang Mulia Nabi Besar Saidina Muhamad SAW dan diikuti pula oleh yang hadir termasuk marapulai. Sementara itu muncul dua orang laki-laki yang seorang membawa minyak wangi dan yang seorang lagi membawa bunga dalam sebuah nampan. Minyak wangi dipercikan kepada sekalian yang hadir dan bunga dalam nampan dibagi-bagi.
Kemudian marapulai dibawa ke (ruang) tengah didudukan di sebuah kursi sebelah kanan penganten wanita atau yang lazim disebut dipersandingkan. Tidak lama setelah dipersandingkan marapulai dibawa kembali ke (ruang) tepi.
Setelah itu makanan pun dihidangkan. Setelah makan minum marapulai dan rombongan pulang kembali ke rumah mereka.
Keesokan hari sekitar pukul lima petang, datang pula utusan menjemput marapulai untuk dibawa ke rumah anak daro. Menjemput kali ini tidak seperti kemarin lagi, cukup dengan beberapa remaja saja.
Ketika penganten pria sampai di rumah anak daro, tampak menunggu di halaman dan di jalan raya di depan rumah itu berderet-deret auto (mobil) dan dos (sado, bendi).
Mempelai disungguhkan makan di ruang tepi juga. Sementara sang penganten makan, mobil dan sado yang disediakan mulai dipenuhi oleh pesemandan dan mereka-mereka yang ikut mengantarkan rombongan anak daro dan marapulai berarak-arak berkeliling kota menuju rumah orang tua sang marapulai. Pai manjalang (pergi menjelang) kata orang Pariaman.
Tentu saja beberapa nampan atau baki penuh berisi kueh-kueh seperti kueh lapis, kueh ruok, kueh bolu, agar-agar dan sebagainya dibawa pula.
Selain nampan-nampan di atas, ada lagi dua baki talam loyang yang ditutup dengan sejenis tudung saji yang disungkup dengan dalamak (delamak). Baki atau nampan pertama berisi kueh gatas, kueh sapik, kueh ripit dan lain-lain, sedangkan nampan yang kedua berisi makanan tradisi yaitu nasi kunyit singgang ayam.
Ketika sampai di rumah orang marapulai, rombongan arak-arakan itu disongsong dengan sebuah cerana yang berisi sirih pinang selengkapnya, ditaburi dengan beras rendang dan dibasuh pula anak jenjang yang akan diinjaknya dengan air dari dalam sebuah galeta yang semula terletak di atas sebuah talam.
Anak daro didudukkan di atas sebuah kursi di depan tempat tidur, sedangkan pesemandan yang banyak itu duduk bersimpuh menghadap ke arah penganten itu. Makanpun disajikan, maka makanlah orang banyak itu.
Selesai makan minum, kedua mempelai dipersandingkan sekali lagi. Setelah itu anak daro bersalaman dengan mertua serta kaum famili sang marapulai. Setiap yang bersalaman dengan sang penganten menyelipkan uang paling kurang sebanyak serupiah.
Disamping itu ibu mertua memberi pula perhiasan emas serta kain baju yang dibeli dari uang penjemput anaknya. Misalnya jika uang penjemput anak f 60., dibelikan barang sekitar f 40. atau f 50. Sisanya untuk penanti tamu yang datang tersebut.
Sambil berpegangan tangan kedua penganten itu bersama pengiringnya pulang kembali ke rumah orang tua anak daro.
Sampai di rumah papan coki atau catur sudah dipersiapkan orang pula. Maka main caturlah kedua penganten baru ini ditontoni orang banyak. Manakala dalam permainan itu sang marapulai dapat merebut cincin di jari anak daro, orang banyak yang menonton bersorak dan bertepuk tangan. Maka permainan pun usailah.
Malam itulah marapulai menginap buat pertama kalinya di rumah anak daro.
Pulang beriring-iring dan main catur itu menurut kesukaan pihak mempelai saja. Yang tidak suka tidak diadakan acara iring-iringan dan juga main coki tersebut.

Ketika almarhum Syekh Muhammad Jamil Al-Khalidi mempersuamikan anaknya, beliau mencoba menyederhanakan helat pernikahan tersebut, demi ongkos dan situasi malaise yang terjadi masa itu.
Pukul tujuh malam marapulai dijemput. Pai Manjalang dilakukan dengan arak-arakan tanpa memakai kendaraan. Pada arak-arakan itu mengiring pula sejumlah laki-laki sembari menyanyikan lagu-lagu khasidah.
Ada pula beliau mengarak marapulai saja berkeliling kota dengan mobil yang diiringi beberapa sado. Namun pai manjalang dilakukan dengan berjalan kaki dengan pesemandan yang banyak.

Memakaikan Adat Selengkapnya
Sekalian yang disebutkan di atas, yakni semenjak malam memanggil sampai “pergi menjelang” itulah kebanyakan yang dilakukan orang dan belum memakaikan adat secukupnya.
Berikut disampaikan bagaimana perhelatan itu dilakukan dengan memakaikan adat selengkapnya.
Pada malam memanggil itu, lima atau tujuh pesemandan dari pihak anak dara pergi ke rumah calon mempelai membawa inai (suatu perarakan dan perjamuan waktu mempelai berinai).
Ketika rombongan itu sampai di rumah mempelai pria, marapulai pun duduk di kursi dan sudah memakai Roki (sejenis baju laki-laki langgam Eropah), yaitu berseluar beludru bertabur warna emas dan perak, lengan dan lehernya memakai renda dari benang makaf, memakai ikat pinggang perak. Tersisip pula dipinggangnya keris Minangkabau bersarung perak. Dikepalanya bertengger sebuah saluak. Di atas saluak itu bertengger pula sebuah hiasan terbuat dari kayu bergelung berpalut warna emas dan pada kayu bergelung ini beruntaian pula bunga melati.
Pesemandan yang datang membawa inai disambut sepatutnya oleh pihak yang punya rumah. Setelah duduk, salah seorang pesemandan itu mengabarkan, bahwa kedatangan mereka ialah hendak menginai mempelai. Melekatkan inai yaitu di kuku kaki mempelai diserahkan sepenuhnya kepada kaum famili mempelai.
Setelah inai dilekatkan, makanan dan minuman disajikan orang. Usai makan minum rombongan pesemandan itu kembali pulang.
Pesemandan marapulai sebanyak lima atau tujuh orang pergi pula ke rumah anak daro. Sementara itu anak daro sudah siap pula memakai-makai (berhias) dan duduk di kursi.
Rombongan yang datang itu mengabarkan bahwa kedatangan mereka ialah hendak menginai anak daro. Maka anak daro diinailah.
Padahal sebelum inai dilekatkan, anak daro sudah berinai juga, yaitu kuku tangan dan ditengah-tengah telapak tangan juga kuku kaki dan sekeliling tepi kakinya.
Setelah inai dilekatkan oleh pesemandan tadi, hidangan pun disajikan orang pula.

Kebanyakan pada malam perhelatan, marapulai belum dijemput, barulah keesokan hari sesudah waktu Lohor dan sekalian menjelang.
Sekitar pukul dua siang marapulai turun dan dinaungi payung gadang yang diselimuti dengan kain sitiga warna, yaitu putih, kuning dan merah serta dilengkapi pula dengan adat kebesaran seperti pedang, bedil, bendera kuning, tombak jangguik janggi, tongkat dan gong yang dibunyikan sepanjang jalan yang dilalui serta musik yang mengiringi. Pada arak-arakan itu marapulai diiringi tidak kurang sepuluh orang pesemandan.
Arak-arakan ke rumah anak daro ini dilakukan dengan berjalan kaki saja dan tidak berkendaraan.
Tatkala sampai di rumah penganten wanita, mereka disongsong dengan cerana dan ditaburi pula dengan beras rendang dan ujung sepatunya dicuci pula dengan air yang disediakan khusus untuk itu.
Sementara itu anak daro yang telah didandani didudukan di kursi di depan tempat tidur yang dihadapi pula oleh para pesemandan.
Marapulai didudukan pula di kursi di sebelah kanan anak daro. Sedangkan di depan pasangan yang bersanding ini dihadapi pula oleh semua pesemandan.
Tidak lama setelah itu dua talam loyang beralaskan daun pisang diletakkan di tengah-tengah di depan kedua penganten itu.
Kedua penganten itu dituntun berdiri ke dalam masing-masing talam. Lalu seorang ibu-ibu yang membawa air dalam galeta memercikan sedikit air ke kening kedua penganten. Inilah yang dinamakan Memandikan Penganten.
Selesai memercikan air, secara bergantian kedua penganten dilecut lambat-lambat sekujur tubuhnya dengan lidi kelapa berkarang. Yang mula-mula dilecut ialah anak daro, setelah itu marapulai.
Selesai upacara tersebut, makanan pun disajikan orang. Sementara itu sado dan mobil bersiap-siap pula di halaman dan di jalan raya di depan rumah penganten itu.
Selesai bersantap, penganten naik ke mobil yang disediakan seperti disebutkan di atas.
Sebuah payung besar diikatkan pada mobil itu dengan maksud melindungi kedua penganten tersebut. Demikian juga para pesemandan serta rombongan lainnya naik pula ke dalam kendaraan yang disediakan untuk mereka. Mereka berarak-arak berkeliling kota menuju rumah ibu penganten pria.
Tiba di rumah yang dituju, mereka bersanding lagi dan seterusnya makan minum pula. Selesai makan minum, sembari berbimbingan tangan anak daro dan marapulai naik kembali ke mobil pulang ke rumah anak daro untuk bermain coki seperti yang telah diuraikan di atas.
Famili marapulai meminta agar anak daro berkunjung pula ke rumah mereka. Inilah yang dinamakan Mendua dan terus Meniga Hari namanya.
Keesokan hari dengan diiringi lima sampai tujuh pesemandan serta pengiring lain, pasangan itu berkunjung ke rumah ibu marapulai. Jika dekat dengan berjalan kaki saja, kalau jauh dengan kendaraan. Pada kunjungan ini pihak anak daro membawa sedulang nasi kunyit singgang ayam serta kueh wajik saja. Demikian pula bawaan untuk setiap rumah keluarga marapulai yang dijelang.
Setiap manjalang atau berkunjung ke rumah famili penganten pria, pihak yang punya rumah telah bersiap pula dengan makanan dan minuman penanti penganten baru tersebut, termasuk pula oleh-oleh berupa kain baju maupun uang kepada sang anak daro.
Berturut-turut selama sepekan sang suami pulang siang ke rumah isterinya untuk makan siang dan sholat lohor. Ditukari sarung yang dipakainya dengan kain sarung yang disediakan di rumah istrinya itu.
Demikian pula anak daro yang baru menikah ini, dalam minggu pertama masa bulan madu ini senantiasa berpakaian yang indah-indah.

Ketika bulan Ramadhan atau bulan puasa, sehari sebelum mulai puasa telah datang kiriman dari rumah anak daro ke rumah marapulai sebuah nampan penuh berisi bunga-bunga dengan air asahan yang harum dalam sebuah gelas khusus serta sabun mandi bermerek Capitol atau Kolederma untuk dipakai oleh marapulai baru tersebut. Inilah yang dinamakan Mengantar Limau Puasa.

Tanggal enam belas Ramadhan ke bawah, ibu si perempuan yang baru menikah telah siap pula mengantar kueh-kueh sebanyak lima tempat. Selain itu ada pula sebotol minyak wangi yang diletakkan dalam wadah beras. Antaran ini dilengkapi dengan alat kebesaran seperti payung gadang, pedang, tombak, bedil, tongkat janggut janggi dan gong. Orang yang memakai adat ini ialah para bangsawan seperti Sidi, Sutan dan Bagindo.
Akan tetapi jika mereka tidak bergelar Sidi, Sutan dan Bagindo, tidak memakai payung gadang, hanya memakai payung biasa yang ditutup dengan kain dan bukan kain tiga warna seperti dikatakan di atas dan juga tidak memakaikan adat secukupnya, kecuali gong.
Hal ini dinamakan berfitrah.
Berfitrah dan mengantarkan limau ini bukan setiap bulan Ramadhan, hanya sekali saja.

Di awal bulan Syawal, yaitu pada Hari Raya Idulfitri, sejak usai Sembahyang Hari Raya, sang penganten baru membawa teman-temannya makan-makan ke rumah istrinya.
Malam harinya kedua orang yang baru menikah itu berkunjung berlebaran ke rumah famili suaminya yang pernah dijelangnya ketika baru menikah dulu, yaitu ketika mendua dan meniga.
Famili mempelai yang dikunjungi membekalinya dengan uang atau kain baru.
Jika ada keluarga dari pihak suaminya yang sakit, maka sang istri menjenguknya dengan membawa berbagai makanan.
Demikian pula setiap bulan Ramadhan wajib pula ibu sang istri mengantarkan pebukaan ke rumah mertua anaknya, akan tetapi ke rumah famili menantunya yang lain, tidak. Cara ini dinamakan mengantar pebukaan.

Kalau yang bersuami itu seorang janda, maka perkawinan itu tidak dengan perhelatan besar, melainkan cukup dengan kenduri saja dengan mengundang orang sepenuh rumah dan membacakan doa selamat. Tetapi harus manjalang dan mengantarkan fitrah dan pebukaan ke rumah mertuanya.

Keterangan.
1) Coyoh – lapuk.
2) Slof – sandal.
3) Kampil sirih – tempat atau tas sirih yang terbuat dari mensiang.
4) Sebagai meter kubik – berbentuk balok.
‘Riwajat Kota Pariaman”
door : Bagindo Said Zakaria – Pariaman, 1932.
Disalin dan disadur dari Mikrofilm No. 1157/PN,
Oleh: Anas Nafis.