27.10.10

UANG JAPUIK


(Helat Perkawinan Pariaman “Tempo Doeloe”)

Lain lubuk lain ikannya, lain padang lain belalangnya, demikian pula adat perkawinan di banyak nagari Minangkabau ini termasuk Pariaman.
Demikian juga kalau hendak membicarakan Uang Japuik (Uang Jemputan) yang amat terkenal pada adat perkawinan di wilayah Pariaman, terlebih dahulu kita harus membahas liku-liku adat perkawinan di daerah tersebut..


“Tempo doeloe” bila suatu keluarga atau penduduk kota kecil Pariaman mempunyai seorang anak perempuan, baru saja menginjak umur tujuh tahun, ibu-bapaknya mulai berfikir untuk masa depan sang anak. Mereka mulai bersiap-siap, misalnya menyediakan benang agak setungkal, kain agak secabik. Semenjak itu mereka mulai berhemat mengencangkan ikat pinggang mengumpulkan uang untuk mendirikan sebuah rumah baru atau memperbaiki rumah mereka yang telah coyoh1).
Adalah merupakan aib bagi masyarakat Pariaman bila berhelat atau bermenantu di rumah yang coyoh. Karena itu malanglah nasib seorang perawan berorang tua miskin, sebagai dikatakan sebuah ungkapan “gadis di bawah rumah yang runtuh”.
Semenjak itu pula sang ibu-bapak mendidik anaknya mengerjakan apa saja yang bermanfaat yang berkaitan dengan urusan suatu rumah tangga, seperti masak memasak, jahit menjahit dan sebagainya, agar nanti tatkala bersuami tidak canggung lagi.

Sekolah Dan Mengaji
Ketika Pemerintah Belanda membuka sekolah di kota kecil ini, banyak pula orang tua menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah tersebut. Pagi hari bersekolah di sekolah biasa, lalu pada petang atau malam hari anak-anak itu disuruh pula belajar agama (mengaji) agar kelak menjadi orang yang saleh.
Umumnya seorang gadis di jaman dulu baru dinikahkan ketika berumur sekitar 20 tahun, namun kini (sekitar tahun 1930) bila telah berumur 15 tahun.
Setahun atau dua tahun sebelum dipersuamikan, anak perawan itu dipingit. Ia tidak diizinkan ke luar rumah seorang diri lagi. Bila ingin ke luar juga, harus ditemani oleh seorang wanita yang lebih tua dan telah bersuami.
Selama masa pingitan tersebut, ia diajar dan disuruh menjahit segala macam keperluan saat menikah kelak, misalnya membuat sarung bantal termasuk untuk kursi, taplak meja, kelambu, hiasan dinding, kain pintu, slof2) kain dan sebagainya.
Adalah menjadi kebanggaan dan kemuliaan bagi sang penganten serta ibu dan bapaknya, bila sekalian yang dipakai saat menjadi penganten kelak adalah jerih payah atau hasil usaha keringatnya sendiri, sungguhpun yang dibuatnya itu tidak sebaik yang dijual di toko-toko.
Sebaliknya merupakan aib dan menjadi gunjingan anak nagari, bilamana yang dipakai sang penganten pada hari pernikahannya itu dibeli atau diupahkan karena bapaknya mampu atau seorang hartawan.

Memilih Calon Menantu
”Pandang dekat ditukikkan, pandang jauh dilayangkan”, demikian kata sebuah peribahasa. Sebenarnya sudah sejak lama seorang yang diinginkan untuk menjadi calon suami si upik menjadi perhatian orang tua sang perawan. Lalu sebulan atau tiga bulan sebelum rencana suatu pernikahan, diadakan pertemuan antar keluarga yang dihadiri seluruh karib bait seperti ibu-bapak, ninik mamak dan lain-lain. Keluarga yang hampir dijemput, yang jauh dengan surat kiriman. Mereka diminta datang bermusyawarah untuk menentukan jodoh sang perawan.
Setelah diperoleh kata sepakat, lalu ditetapkan mengutus seseorang ke rumah orang tua sang perjaka untuk menyampaikan maksud tujuan keluarga sang perawan.
Beberapa hari kemudian, ibu-bapak, mamak dan keluarga dekat lainnya dengan membawa kampil sirih3) sebagaimana yang dilazimkan oleh adat datang ke rumah orang tua sang perjaka. Sementara itu karib bait sang perjaka telah siap pula menunggu rombongan yang datang tersebut.
Singkat kata dalam pertemuan itu ditanyakan, apakah pihak yang menunggu sudi melepas anak kemenakan mereka menjadi menantu pihak yang datang. Bilamana suka maka dibuatlah perjanjian.
Jika anak (sang perjaka) bergelar Sutan, Sidi atau Bagindo, ditanyakan berapa suka mereka menerima uang dari pihak yang datang. Sejumlah uang inilah yang disebut UANG JEMPUTAN. Banyaknya tergantung dari martabat keluarga serta profesi sang perjaka. Jika ia berniaga, makan gaji atau guru agama, tinggi uang jemputannya.
Sebaliknya jika anak itu tidak bergelar Sutan, Sidi atau Bagindo, orang yang punya rumah (pihak lelaki) memberi uang kepada pihak yang datang sebagai di atas pula.
Namun demikian ada pula pihak yang bergelar Sutan, Sidi maupun Bagindo tidak mau menerima uang tersebut walau sepeser sekali pun. Kadang-kadang malah memberi sejumlah uang kepada pihak yang datang. Tentu saja cara semacam itu dilakukan atas dasar kesepakatan kedua belah pihak atau tidak sebagaimana yang dilazimkan oleh adat. “Habis adat karena kerelaan” kata peribahasa.

Usai kesepakatan mengenai besar atau jumlah uang jemputan, pihak yang datang menyerahkan sebentuk cincin sebagai tanda sah. Kesepakatan tersebut tidak boleh diungkai lagi. Jika mungkir akan dihukum secara adat. Inilah yang dinamakan bertanda-tandaan.
Uang jemputan baru diserahkan pada saat berhelat kelak. Demikian pula cincin yang diserahkan sebagai tanda sah akan dikembalikan lagi saat berhelat.

Keterangan
Dalam Adatrecht Bundels XXXV – Sumatra, Serie H – Het Minangkabausche Gebied No. 67, halaman 315 disebutkan, di jaman dahulu Uang Jemputan terdapat di seluruh Minangkabau.
Dikatakan “Panghulu tarima ¼ bahagian uwang japutan laki anak buahnya yang jolong kawin dengan parampuan yang jolong berlaki, ia itu uang japutan itu datang dari kaum parampuan yang mau dikawini laki-laki itu” (Penghulu menerima ¼ bahagian uang jemputan laki-laki atau anak buah yang mula kawin dengan perempuan yang mula bersuami, yaitu uang jemputan itu datang dari kaum perempuan yang mau dikawini laki-laki itu).


Menentukan Hari - Berkampungan
Sebulan sebelum ditetapkan hari pernikahan, kedua belah pihak yang berkepentingan berhimpun bermusyawarah mencari hari yang baik untuk melaksanakan helat tersebut. Musyawarah dihadiri selain ibu-bapak, ninik mamak, orang tua-tua dan lain lain dari kedua belah pihak, juga oleh cerdik pandai dan orang-orang terpandang dalam nagari. Musyawarah inilah yang dinamakan bakampuangan (berkampungan – berkumpul-kumpul).
Pokok pembicaraan ialah, selain hari, tanggal dan bulan apa helat itu dijadikan (dilangsungkan), juga bentuk atau jenis helat itu sendiri. Apakah akan diadakan helat besar atau helat kecil.
Kalau yang dijadikan itu helat besar, bakajo (berkerja) namanya. Lama bakajo ini sekurang-kurangnya tiga hari tiga malam. Didirikan adat secukupnya, disembelih kerbau atau sapi serta diadakan pula permainan anak nagari seperti berebab, pencak silat dan sebagainya.
Tidak sembarang orang yang boleh mengadakan helat besar ini. Yang boleh mengadakan hanyalah urang baradat (orang beradat) dan bangsawan saja.
Helat kecil tidaklah sebesar helat besar dan tidak mendirikan adat secukupnya, sungguhpun pesta perkawinan itu dilaksanakan selama tujuh hari tujuh malam.

Jaman sekarang (sekitar tahun 1930) boleh dikatakan tidak ada lagi orang mengadakan helat besar, hanya helat kecil saja yang tidak banyak mengeluarkan biaya. Bahkan di jaman maleise (jaman serba sukar) ini sudah menjadi kebiasaan pula berkenduri, yaitu mamanggia (memanggil – mengundang) orang sepenuh rumah saja. Helat berkenduri ini biasanya diadakan dua hari dua malam, yaitu pada hari mamanggia (hari memanggil) dan hari baralek (hari berhelat).
Setelah disepakati hari, tanggal dan bulan apa helat akan dilangsungkan, ditentukan pula hari batagak pondok (mendirikan pondok) namanya, yaitu mendirikan sebuah bangsal besar yang terbuat dari bambu beratap rumbia tempat orang berkerja seperti masak memasak dsb. Biasanya bertegak pondok ini dilakukan tiga hari sebelum hari pernikahan.
Selesai musyawarah, hidangan pun ditating, maka makanlah orang yang berkampungan tersebut.

Menjelang Pernikahan
Semenjak itu yakni semenjak usai berkampungan, ibu-bapak serta kaum famili sang perawan berkerja keras mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan pernikahan yang tidak lama lagi akan dilangsungkan.
Mulai saat itu pula pihak penganten wanita atau pihak si pangkalan mamanggia berkeliling kampung, yakni menaiki setiap rumah dengan membawa kampia siriah (kampil sirih) sebagaimana yang dilazimkan oleh adat. Demikian pula kaum bapak seperti sang ayah dan para mamak berkeliling seperti di atas pula mamanggia kaum laki-laki di kampung itu. Yang hampir atau yang dekat-dekat dilakukan secara lisan, sedangkan yang jauh dikirimi surat.

Tiga hari sebelum helat dilangsungkan, orang-orang di sekitar rumah si pangkalan berdatangan membantu mendirikan pondok, sebagaimana yang disepakati pada hari berkampungan di atas. Biasanya dibuat dua pondok, masing untuk kaum laki-laki dan perempuan. Sedangkan sebelum itu, yaitu kira-kira seminggu sebelum pernikahan, selain famili, kaum ibu atau para tetangga yang berdekatan datang membantu mengerjakan apa saja yang patut mereka lakukan.
Ruang sebelah depan yang disebut langkan dihiasi dengan berbagai bunga dan sebagainya.
Demikian juga dinding ruang sebelah dalam yang disebut tepi ditutup dengan tabir berwarna putih, kuning dan merah. Dilotengnya dibentangkan selembar langit-langit, yakni semacam tabir panjangnya sekitar dua meter dan lebarnya kira-kira satu meter. Tepi langit-langit itu diberi tirai berjambut, lebarnya kira-kira sejengkal dan lebarnya sekitar tiga jari.
Di bawah langit-langit terdapat sebuah tempat tidur berkelambu kain sutra. Kelambu ini dihiasi pula dengan manik-manik dan sebagainya. Demikian juga alas kasur, sarung bantal dan guling, terbuat dari bahan sutra pula. Inilah yang dinamakan katiduran (ketiduran).
Di lantai di depan katiduran dibentangkan sebatang kasur beralaskan kain sutra yang dihiasi jahitan motif bunga serta sesusun bantal bersarung sutra bersulam pula.
Di lantai di depan kasur itu dibentangkan pula sehelai permedani dan didepannya lagi tikar-tikar yang bagus.
Ruang sebelah ke dalam yang disebut ruang tengah dihiasi pula dengan tabir, langit-langit dan tirai, akan tetapi tidak berkasur seperti di ruang tepi. Di situ didirikan dua rangka kayu setinggi tempat tidur yang letaknya berhadapan dan tidak jauh di seberang ketiduran. Kedua rangka tersebut dihubungkan dengan rangka kayu pula yang semuanya dibalut dengan kain warna-warni. Diatasnya ditempatkan tiga hiasan berangka kayu yang ditutup atau ditempel dengan aneka kertas warna-warni pula. Tinggi hiasan ini sekitar setengah meter, bentuknya seperti menara dan bundar (gobah mesjid). Inilah yang dinamakan cermin-cermin.
Di bawah cermin-cermin ini ditempatkan dua kursi beralaskan kain sutra untuk penganten duduk bersanding.
Jika yang berhelat itu urang patuik (orang patut – orang terkemuka), dibuat pula bantal gadang namanya yang ditempatkan di sebelah kanan tempat tidur di ruang tepi.
Bantal gadang ini terbuat dari rangka kayu, tingginya sekitar satu meter, panjang dan lebarnya sekitar setengah meter, dibalut dengan kain berwarna dan bagian sebelah depannya bersulam benang emas. Bagian atas bantal gadang ini ada yang dibuat runcing seperti piramida dan ada pula berbentuk atap rumah gadang Minangkabau.
Kamar anak daro (mempelai wanita) dihiasi seindah mungkin, lengkap dengan tempat tidur besi atau koi buatan Surabaya atau Inggris, berkelambu sutra indah, meja kursi, almari pakaian pakai cermin serta hiasan dinding.

Helat Perkawinan
Sehari sebelum berhelat kesibukan di rumah calon penganten wanita itu meningkat tajam dari hari-hari sebelumnya.
Semenjak pagi hari kaum ibu sibuk membantu mengerjakan apa saja yang berguna atau yang diperlukan untuk hari itu dan keesokan harinya. Demikian juga kaum bapak pihak si pangkalan.
Sedangkan malam sebelumnya diadakan permainan anak negeri. Yang biasa digelar ialah berebab dan pencak silat. Karena itu penuh sesaklah halaman si empunya hajat. Usai pergelaran, dihidangkan minuman.
Keesokan hari pada hari berhelat, berdatanganlah orang-orang yang dipanggil, baik yang jauh maupun dekat.
Tamu atau orang-orang yang datang itu menyumbang uang, kain baju, pecah belah dsb. Semua pemberian itu diserahkan kepada yang punya hajat. Inilah yang dinamakan panggilan. Sekalian mereka yang datang itu diberi makan minum secukupnya.
Hari itu pula anak daro (penganten wanita) didandani seelok-eloknya secara adat. Padanya dipakaikan baju sutra hijau locuan atau merah bersulam bermotif bunga dengan benang makau, berkain songket bersulam benang emas. Berselempang kain sutra warna merah berhiaskan motif kembang dari benang emas yang disebut tokah.
Pada kedua lengan dan jari tangan sang penganten dipakaikan gelang serta cincin berpermata. Lehernya dihiasi beberapa untaian kalung atau dokoh. Demikian juga dikeningnya seuntai dokoh berpermata pula. Sedangkan di kepala atau sanggul sang penganten tersusun tiga baris tusuk kundai. Tusuk kundai atau sunting ini ada yang terbuat dari emas dan ada pula dari perak.
Usai memakai, anak daro dituntun ke ruang tengah dan didudukan di kursi yang telah tersedia. Ia dihadapi oleh beberapa pasumandan (pesemandan – pengiring penganten) yaitu wanita-wanita muda yang telah bersuami yang berpakaian dan berdandan mirip penganten. Tak obahnya bagaikan ratu di mahligai kencana dengan dayang-dayangnya.
Induak bako yaitu sekalian famili pihak ayah sang penganten datang bersama-sama berarak-arak dengan membawa berbagai macam hadiah (kado) seperti cawan pinggan, gelas minum, tembala atau tempat cuci tangan, kain baju, slof (sandal) dan sebagainya untuk anak pisangnya (sang penganten terhadap sekalian famili ayahnya). Inilah yang dinamakan bainduak bako.
Biasanya hari perhelatan itu diramaikan pula dengan musik tradisionil atau pun musik cara barat. Namun demikian ada pula yang tidak melakukannya.

Peredaran zaman membawa pula berbagai perubahan. Misalnya, belakangan ini muncul pula pakaian penganten model baru, yaitu “pakaian penganten model Arab” yang lebih sederhana dan tidak banyak pula mengeluarkan biaya. Model pakaian Arab ini diprakasai oleh Bundo Siti Maryam, seorang guru mengaji terkemuka di kota kecil ini.
Penganten wanitanya berseluar (celana panjang) dan bagian kaki seluar sebelah bawah dihias dengan sulaman benang makau (benang sulaman emas). Bajunya model pakaian wanita bangsa Turki yang berhiaskan sulaman benang makau. Bagian kepala ditutup penuh dan dihiasi pula dengan dokoh permata.
Selain gelang, cincin, kalung, penganten mengenakan sepatu. Jadi tidak bersandal (selop) dengan biasanya.

Malam hari datang kaum laki-laki memenuhi panggilan yang punya hajat. Mereka menyumbang uang saja dan tidak makan minum. Besar sumbangan atau pemberian itu berkisar antara dua puluh lima sen dan adakalanya sampai sepuluh rupiah, tergantung hubungan mereka dengan yang punya hajat.
Singkat kata semua biaya perhelatan dilunasi oleh kaum laki-laki yang datang itu.
Berhubung serangan malaise (sekitar tahun 1930), sumbangan semacam itu tidak seperti jaman dahulu lagi.
Malam itu di ruang tepi berlangsung pula zikir rebana yang diikuti sekitar 15 hingga 20 orang.

Menjemput Penganten Pria
Malam itu pula ayah serta mamak sang penganten mengutus dua atau tiga orang laki-laki ke rumah orang tua calon marapulai (penganten pria). Mereka membawa pakaian selengkapnya termasuk sepasang sepatu, sapu tangan sutra, kampil rokok, kampil sirih serta uang jemputan.
Mereka juga membawa tungketan yaitu beberapa bentuk cincin yang diikat kain kuning. Banyak cincin tungketan tergantung tinggi rendahnya martabat kaum tersebut. Kalau orang keturunan atau bangsawan, tungketannya lima sampai tujuh bentuk cincin. Akan tetapi kalau orang biasa satu hingga tiga bentuk cincin saja.
Di rumah marapulai tidak diadakan helat seperti di rumah anak daro, hanya berkenduri saja memanggil orang sepenuh rumah dan memintakan doa selamat. Demikian pula rumah marapulai tidak dihias seperti rumah anak daro, hanya ruang tengah saja didandani. Di ruangan ini dibentangkan tabir, langit-langit, tempat tidur dan didepannya digelar tikar dan dua kursi.

Ketika utusan itu sampai di rumah ibu mempelai pria, mereka disambut oleh segenap famili fihak yang menunggu. Sembari menyerahkan sekalian bawaan, disampaikan pula bahwa mereka diutus oleh mamak dan bapak anak daro menjemput marapulai untuk dipersandingkan.
Pihak atau keluarga marapulai mengatakan persetujuannya. Lalu menyuruh si buyung yang akan menikah memakai dan berhias, yakni bersarung kain berhias benang makau, berbaju jas dan bersepatu seperti biasa. Tidak ketingalan pula sebuah arloji berantai emas dan sebentuk cincin permata.
Namun demikian ada pula marapulai memakai baju arab lengkap dengan serban atau pun pakaian jenis lainnya.
Rombongan marapulai yang diiringi sekitar dua puluh pasumandan serta pengiring lainnya berarak-arak berjalan kaki ke rumah anak daro.
Biasanya arak-arak ini diramaikan pula musik rebana atau musik gendang melayu yang disebut tumgadumbak oleh masyarakat Pariaman.
Sampai di rumah penganten wanita, rombongan besar ini disongsong oleh seorang wanita yang membawa cerana berisi sirih pinang selengkapnya.
Setelah sampai di depan tangga rumah, marapulai ditaburi dengan beras rendang dan ujung sepatunya dibasuh pula dengan air dari sebuah gelas khusus.
Kemudian marapulai didudukkan di kasur yang terbentang di ruang tepi. Sementara itu pesemandan pengiring marapulai duduk di ruang tengah berhadapan dengan penganten wanita (anak daro).
Tidak lama setelah itu nikahpun dilangsungkan oleh ayah anak daro yang disaksikan oleh pegawai mesjid berikut famili kedua belah pihak serta orang banyak.
Selesai nikah orang berzikir rebana, lalu berdiri membaca asyrakal yaitu memuji kelahiran Yang Mulia Nabi Besar Saidina Muhamad SAW dan diikuti pula oleh yang hadir termasuk marapulai. Sementara itu muncul dua orang laki-laki yang seorang membawa minyak wangi dan yang seorang lagi membawa bunga dalam sebuah nampan. Minyak wangi dipercikan kepada sekalian yang hadir dan bunga dalam nampan dibagi-bagi.
Kemudian marapulai dibawa ke (ruang) tengah didudukan di sebuah kursi sebelah kanan penganten wanita atau yang lazim disebut dipersandingkan. Tidak lama setelah dipersandingkan marapulai dibawa kembali ke (ruang) tepi.
Setelah itu makanan pun dihidangkan. Setelah makan minum marapulai dan rombongan pulang kembali ke rumah mereka.
Keesokan hari sekitar pukul lima petang, datang pula utusan menjemput marapulai untuk dibawa ke rumah anak daro. Menjemput kali ini tidak seperti kemarin lagi, cukup dengan beberapa remaja saja.
Ketika penganten pria sampai di rumah anak daro, tampak menunggu di halaman dan di jalan raya di depan rumah itu berderet-deret auto (mobil) dan dos (sado, bendi).
Mempelai disungguhkan makan di ruang tepi juga. Sementara sang penganten makan, mobil dan sado yang disediakan mulai dipenuhi oleh pesemandan dan mereka-mereka yang ikut mengantarkan rombongan anak daro dan marapulai berarak-arak berkeliling kota menuju rumah orang tua sang marapulai. Pai manjalang (pergi menjelang) kata orang Pariaman.
Tentu saja beberapa nampan atau baki penuh berisi kueh-kueh seperti kueh lapis, kueh ruok, kueh bolu, agar-agar dan sebagainya dibawa pula.
Selain nampan-nampan di atas, ada lagi dua baki talam loyang yang ditutup dengan sejenis tudung saji yang disungkup dengan dalamak (delamak). Baki atau nampan pertama berisi kueh gatas, kueh sapik, kueh ripit dan lain-lain, sedangkan nampan yang kedua berisi makanan tradisi yaitu nasi kunyit singgang ayam.
Ketika sampai di rumah orang marapulai, rombongan arak-arakan itu disongsong dengan sebuah cerana yang berisi sirih pinang selengkapnya, ditaburi dengan beras rendang dan dibasuh pula anak jenjang yang akan diinjaknya dengan air dari dalam sebuah galeta yang semula terletak di atas sebuah talam.
Anak daro didudukkan di atas sebuah kursi di depan tempat tidur, sedangkan pesemandan yang banyak itu duduk bersimpuh menghadap ke arah penganten itu. Makanpun disajikan, maka makanlah orang banyak itu.
Selesai makan minum, kedua mempelai dipersandingkan sekali lagi. Setelah itu anak daro bersalaman dengan mertua serta kaum famili sang marapulai. Setiap yang bersalaman dengan sang penganten menyelipkan uang paling kurang sebanyak serupiah.
Disamping itu ibu mertua memberi pula perhiasan emas serta kain baju yang dibeli dari uang penjemput anaknya. Misalnya jika uang penjemput anak f 60., dibelikan barang sekitar f 40. atau f 50. Sisanya untuk penanti tamu yang datang tersebut.
Sambil berpegangan tangan kedua penganten itu bersama pengiringnya pulang kembali ke rumah orang tua anak daro.
Sampai di rumah papan coki atau catur sudah dipersiapkan orang pula. Maka main caturlah kedua penganten baru ini ditontoni orang banyak. Manakala dalam permainan itu sang marapulai dapat merebut cincin di jari anak daro, orang banyak yang menonton bersorak dan bertepuk tangan. Maka permainan pun usailah.
Malam itulah marapulai menginap buat pertama kalinya di rumah anak daro.
Pulang beriring-iring dan main catur itu menurut kesukaan pihak mempelai saja. Yang tidak suka tidak diadakan acara iring-iringan dan juga main coki tersebut.

Ketika almarhum Syekh Muhammad Jamil Al-Khalidi mempersuamikan anaknya, beliau mencoba menyederhanakan helat pernikahan tersebut, demi ongkos dan situasi malaise yang terjadi masa itu.
Pukul tujuh malam marapulai dijemput. Pai Manjalang dilakukan dengan arak-arakan tanpa memakai kendaraan. Pada arak-arakan itu mengiring pula sejumlah laki-laki sembari menyanyikan lagu-lagu khasidah.
Ada pula beliau mengarak marapulai saja berkeliling kota dengan mobil yang diiringi beberapa sado. Namun pai manjalang dilakukan dengan berjalan kaki dengan pesemandan yang banyak.

Memakaikan Adat Selengkapnya
Sekalian yang disebutkan di atas, yakni semenjak malam memanggil sampai “pergi menjelang” itulah kebanyakan yang dilakukan orang dan belum memakaikan adat secukupnya.
Berikut disampaikan bagaimana perhelatan itu dilakukan dengan memakaikan adat selengkapnya.
Pada malam memanggil itu, lima atau tujuh pesemandan dari pihak anak dara pergi ke rumah calon mempelai membawa inai (suatu perarakan dan perjamuan waktu mempelai berinai).
Ketika rombongan itu sampai di rumah mempelai pria, marapulai pun duduk di kursi dan sudah memakai Roki (sejenis baju laki-laki langgam Eropah), yaitu berseluar beludru bertabur warna emas dan perak, lengan dan lehernya memakai renda dari benang makaf, memakai ikat pinggang perak. Tersisip pula dipinggangnya keris Minangkabau bersarung perak. Dikepalanya bertengger sebuah saluak. Di atas saluak itu bertengger pula sebuah hiasan terbuat dari kayu bergelung berpalut warna emas dan pada kayu bergelung ini beruntaian pula bunga melati.
Pesemandan yang datang membawa inai disambut sepatutnya oleh pihak yang punya rumah. Setelah duduk, salah seorang pesemandan itu mengabarkan, bahwa kedatangan mereka ialah hendak menginai mempelai. Melekatkan inai yaitu di kuku kaki mempelai diserahkan sepenuhnya kepada kaum famili mempelai.
Setelah inai dilekatkan, makanan dan minuman disajikan orang. Usai makan minum rombongan pesemandan itu kembali pulang.
Pesemandan marapulai sebanyak lima atau tujuh orang pergi pula ke rumah anak daro. Sementara itu anak daro sudah siap pula memakai-makai (berhias) dan duduk di kursi.
Rombongan yang datang itu mengabarkan bahwa kedatangan mereka ialah hendak menginai anak daro. Maka anak daro diinailah.
Padahal sebelum inai dilekatkan, anak daro sudah berinai juga, yaitu kuku tangan dan ditengah-tengah telapak tangan juga kuku kaki dan sekeliling tepi kakinya.
Setelah inai dilekatkan oleh pesemandan tadi, hidangan pun disajikan orang pula.

Kebanyakan pada malam perhelatan, marapulai belum dijemput, barulah keesokan hari sesudah waktu Lohor dan sekalian menjelang.
Sekitar pukul dua siang marapulai turun dan dinaungi payung gadang yang diselimuti dengan kain sitiga warna, yaitu putih, kuning dan merah serta dilengkapi pula dengan adat kebesaran seperti pedang, bedil, bendera kuning, tombak jangguik janggi, tongkat dan gong yang dibunyikan sepanjang jalan yang dilalui serta musik yang mengiringi. Pada arak-arakan itu marapulai diiringi tidak kurang sepuluh orang pesemandan.
Arak-arakan ke rumah anak daro ini dilakukan dengan berjalan kaki saja dan tidak berkendaraan.
Tatkala sampai di rumah penganten wanita, mereka disongsong dengan cerana dan ditaburi pula dengan beras rendang dan ujung sepatunya dicuci pula dengan air yang disediakan khusus untuk itu.
Sementara itu anak daro yang telah didandani didudukan di kursi di depan tempat tidur yang dihadapi pula oleh para pesemandan.
Marapulai didudukan pula di kursi di sebelah kanan anak daro. Sedangkan di depan pasangan yang bersanding ini dihadapi pula oleh semua pesemandan.
Tidak lama setelah itu dua talam loyang beralaskan daun pisang diletakkan di tengah-tengah di depan kedua penganten itu.
Kedua penganten itu dituntun berdiri ke dalam masing-masing talam. Lalu seorang ibu-ibu yang membawa air dalam galeta memercikan sedikit air ke kening kedua penganten. Inilah yang dinamakan Memandikan Penganten.
Selesai memercikan air, secara bergantian kedua penganten dilecut lambat-lambat sekujur tubuhnya dengan lidi kelapa berkarang. Yang mula-mula dilecut ialah anak daro, setelah itu marapulai.
Selesai upacara tersebut, makanan pun disajikan orang. Sementara itu sado dan mobil bersiap-siap pula di halaman dan di jalan raya di depan rumah penganten itu.
Selesai bersantap, penganten naik ke mobil yang disediakan seperti disebutkan di atas.
Sebuah payung besar diikatkan pada mobil itu dengan maksud melindungi kedua penganten tersebut. Demikian juga para pesemandan serta rombongan lainnya naik pula ke dalam kendaraan yang disediakan untuk mereka. Mereka berarak-arak berkeliling kota menuju rumah ibu penganten pria.
Tiba di rumah yang dituju, mereka bersanding lagi dan seterusnya makan minum pula. Selesai makan minum, sembari berbimbingan tangan anak daro dan marapulai naik kembali ke mobil pulang ke rumah anak daro untuk bermain coki seperti yang telah diuraikan di atas.
Famili marapulai meminta agar anak daro berkunjung pula ke rumah mereka. Inilah yang dinamakan Mendua dan terus Meniga Hari namanya.
Keesokan hari dengan diiringi lima sampai tujuh pesemandan serta pengiring lain, pasangan itu berkunjung ke rumah ibu marapulai. Jika dekat dengan berjalan kaki saja, kalau jauh dengan kendaraan. Pada kunjungan ini pihak anak daro membawa sedulang nasi kunyit singgang ayam serta kueh wajik saja. Demikian pula bawaan untuk setiap rumah keluarga marapulai yang dijelang.
Setiap manjalang atau berkunjung ke rumah famili penganten pria, pihak yang punya rumah telah bersiap pula dengan makanan dan minuman penanti penganten baru tersebut, termasuk pula oleh-oleh berupa kain baju maupun uang kepada sang anak daro.
Berturut-turut selama sepekan sang suami pulang siang ke rumah isterinya untuk makan siang dan sholat lohor. Ditukari sarung yang dipakainya dengan kain sarung yang disediakan di rumah istrinya itu.
Demikian pula anak daro yang baru menikah ini, dalam minggu pertama masa bulan madu ini senantiasa berpakaian yang indah-indah.

Ketika bulan Ramadhan atau bulan puasa, sehari sebelum mulai puasa telah datang kiriman dari rumah anak daro ke rumah marapulai sebuah nampan penuh berisi bunga-bunga dengan air asahan yang harum dalam sebuah gelas khusus serta sabun mandi bermerek Capitol atau Kolederma untuk dipakai oleh marapulai baru tersebut. Inilah yang dinamakan Mengantar Limau Puasa.

Tanggal enam belas Ramadhan ke bawah, ibu si perempuan yang baru menikah telah siap pula mengantar kueh-kueh sebanyak lima tempat. Selain itu ada pula sebotol minyak wangi yang diletakkan dalam wadah beras. Antaran ini dilengkapi dengan alat kebesaran seperti payung gadang, pedang, tombak, bedil, tongkat janggut janggi dan gong. Orang yang memakai adat ini ialah para bangsawan seperti Sidi, Sutan dan Bagindo.
Akan tetapi jika mereka tidak bergelar Sidi, Sutan dan Bagindo, tidak memakai payung gadang, hanya memakai payung biasa yang ditutup dengan kain dan bukan kain tiga warna seperti dikatakan di atas dan juga tidak memakaikan adat secukupnya, kecuali gong.
Hal ini dinamakan berfitrah.
Berfitrah dan mengantarkan limau ini bukan setiap bulan Ramadhan, hanya sekali saja.

Di awal bulan Syawal, yaitu pada Hari Raya Idulfitri, sejak usai Sembahyang Hari Raya, sang penganten baru membawa teman-temannya makan-makan ke rumah istrinya.
Malam harinya kedua orang yang baru menikah itu berkunjung berlebaran ke rumah famili suaminya yang pernah dijelangnya ketika baru menikah dulu, yaitu ketika mendua dan meniga.
Famili mempelai yang dikunjungi membekalinya dengan uang atau kain baru.
Jika ada keluarga dari pihak suaminya yang sakit, maka sang istri menjenguknya dengan membawa berbagai makanan.
Demikian pula setiap bulan Ramadhan wajib pula ibu sang istri mengantarkan pebukaan ke rumah mertua anaknya, akan tetapi ke rumah famili menantunya yang lain, tidak. Cara ini dinamakan mengantar pebukaan.

Kalau yang bersuami itu seorang janda, maka perkawinan itu tidak dengan perhelatan besar, melainkan cukup dengan kenduri saja dengan mengundang orang sepenuh rumah dan membacakan doa selamat. Tetapi harus manjalang dan mengantarkan fitrah dan pebukaan ke rumah mertuanya.

Keterangan.
1) Coyoh – lapuk.
2) Slof – sandal.
3) Kampil sirih – tempat atau tas sirih yang terbuat dari mensiang.
4) Sebagai meter kubik – berbentuk balok.
‘Riwajat Kota Pariaman”
door : Bagindo Said Zakaria – Pariaman, 1932.
Disalin dan disadur dari Mikrofilm No. 1157/PN,
Oleh: Anas Nafis.

14.9.10

Menu Makan Malam

Cerpen Kadek Sonia Piscayanti

Sesuatu yang kelak retak dan kita membikinnya abadiIbu bersumpah untuk membangun keluarganya di atas meja makan. Ia terobsesi mewujudkan keluarga yang bahagia melalui media makan bersama. Maka, ia menghabiskan hidupnya di dapur, memasak beribu-ribu bahkan berjuta-juta menu makanan hanya untuk menghidangkan menu masakan yang berbeda-beda setiap harinya. Ia memiliki jutaan daftar menu makan malam di lemari dapurnya. Daftar itu tersusun rapi di dalam sebuah buku folio usang setebal dua kali lipat kamus besar Bahasa Indonesia, berurut dari menu masakan berawal dengan huruf A hingga Z. Ia menyusun sendiri kamus itu sejak usia perkawinannya satu hari hingga kini menginjak usia 25 tahun. Di sebelah kamus resep masakan itu, bertumpuk-tumpuk pula resep masakan dari daerah Jawa, Madura, Padang, bahkan masakan China. Belum lagi kliping resep masakan dari tabloid-tabloid wanita yang setebal kamus Oxford Advanced Learner.

Isi kepala Ibu memang berbeda dengan ibu lain. Dalam kepalanya seolah hanya ada tiga kata, menu makan malam. Setiap detik, setiap helaan napasnya, pikirannya adalah menu-menu masakan untuk makan malam saja. Makan malam itulah ritual resmi yang secara tersirat dibikinnya dan dibuatnya tetap lestari hingga saat ini. Meskipun, ketiga anaknya telah beranjak dewasa, ia tak pernah surut mempersiapkan makan malam sedemikian rupa sama seperti ketika ia melakukannya pertama, sejak usia pernikahannya masih satu hari.

Keluarga ini tumbuh bersama di meja makan. Mereka telah akrab dengan kebiasaan bercerita di meja makan sambil menikmati menu-menu masakan Ibu. Mereka berbicara tentang apa saja di meja makan. Mereka duduk bersama dan saling mendengarkan cerita masing-masing. Tak peduli apakah peristiwa-peristiwa itu nyambung atau tidak, penting bagi yang lain atau tidak, pokoknya bercerita. Yang lain boleh menanggapi, memberi komentar atau menyuruh diam kalau tak menarik. Muka-muka kusut, tertekan, banyak masalah, stres, depresi, marah, kecewa, terpukul, putus asa, cemas, dan sebagainya, bisa ditangkap dari suasana di atas meja makan. Sebaliknya muka-muka ceria, riang, berseri, berbunga-bunga, jatuh cinta, juga bisa diprediksi dari ritual makan bersama ini. Ibu yang paling tahu semuanya.

Ia memang punya kepentingan terhadap keajegan tradisi makan bersama ini. Satu kepentingan saja dalam hidupnya, memastikan semua anggota keluarganya dalam keadaan yang ia harapkan. Bagi Ibu, sehari saja ritual ini dilewatkan, ia akan kehilangan momen untuk mengetahui masalah keluarganya. Tak ada yang bisa disembunyikan dari momen kebersamaan ini. Dan kehilangan momen itu ia rasakan seperti kegagalan hidup yang menakutkan. Ia tak mau itu terjadi dan ia berusaha keras untuk membuat itu tak terjadi.

Ia tak berani membayangkan kehilangan momen itu. Sungguh pun tahu, ia pasti menghadapinya suatu saat nanti, ia merasa takkan pernah benar-benar siap untuk itu. Yang agak melegakan, semua anggota keluarganya telah terbiasa dengan tradisi itu dan mereka seolah menyadari bahwa Ibu mereka memerlukan sebuah suasana untuk menjadikannya "ada". Semua orang tahu dan memakluminya. Maka semua orang berusaha membuatnya merasa "ada" dengan mengikuti ritual itu. Namun, kadang beberapa dari mereka menganggap tradisi ini membosankan.***Jam empat pagi. Ibu telah memasak di dapur. Ia menyiapkan sarapan dengan sangat serius. Ibu tak pernah menganggap memasak adalah kegiatan remeh. Ia tak pernah percaya bahwa seorang istri yang tak pernah memasak untuk keluarganya adalah seorang Ibu yang baik. Jika ada yang meremehkan pekerjaan memasak, Ibu akan menangkisnya dengan satu argumen: masakan yang diberkahi Tuhan adalah masakan yang lahir dari tangan seorang Ibu yang menghadirkan cinta dan kasih sayangnya pada setiap zat rasa masakan yang dibikinnya. Ibu meyakini bahwa makanan adalah bahasa cinta seorang Ibu kepada keluarganya, seperti jembatan yang menghubungkan batin antarmanusia. Sampai di sini, anak-anaknya akan berhenti mendengar penjelasan yang sudah mereka hapal di luar kepala. Ibu takkan berhenti bicara kalau kedamaiannya diusik. Dan yang bisa menghentikannya hanya dirinya sendiri.

Sarapan tiba. Ibu menyiapkan sarapan di dapur. Ia menyiapkan menu sesuai dengan yang tertera di daftar menu di lemari makanan. Telur dadar, sayur hijau dan sambal kecap. Ada lima orang di keluarganya. Semua orang memiliki selera berbeda-beda. Suaminya suka telur yang tak matang benar, agak asin, tanpa cabe. Aries suka telur yang benar-benar tergoreng kering, dan harus pedas. Pisca, suka makanan serba manis. Telur dadarnya harus setengah matang dengan kecap manis dan sedikit vitsin. Sedangkan Canestra, tak suka pada kuning telur. Sebelum didadar, kuning telur harus dipisahkan dulu dari putihnya. Jika tidak dibuatkan yang sesuai dengan pesanannya, ia bisa mogok makan. Berhari-hari.

Bagaimana dengan Ibu? Ibu bahkan tak pernah macam-macam. Telur dadarnya adalah yang standar, tidak ada perlakuan khusus. Ia boleh makan apa saja, yang penting makan, jadilah.

Pukul 07.05. Telur dadar setengah matang asin, telur dadar pedas, telur manis dengan vitsin, dan telur tanpa kuning, berikut sayur hijau dan sambal kecap telah terhidang. Semua telah menghadapi hidangan masing-masing sesuai pesanan. Makan pagi biasanya tak ada yang terlalu banyak bicara. Semua sibuk dengan rencana masing-masing di kepalanya. Kelihatannya, tak ada yang ingin berbagi. Aries kini sudah bekerja di sebuah kantor pemerintah, menjadi tenaga honor daerah. Ia harus tiba di kantor setidaknya pada tujuh dua lima, karena ada apel setiap tujuh tigapuluh. Pisca harus ke kampus. Ia duduk di semester tujuh kini. Tampaknya sedang tak bisa diganggu oleh siapa pun. Wajahnya menunjukkan demikian. Mungkin akan bertemu dengan dosen pembimbing atau entah apa, tapi mukanya keruh. Mungkin banyak persoalan, tapi Ibu cuma bisa memandang saja. Sedang Canestra masih di SMA. Ia tampak paling santai. Tangannya memegang komik. Komik Jepang. Makan sambil membaca adalah kebiasaannya. Sang Bapak, duduk diam sambil mengunyah makanan tanpa bersuara dan tanpa menoleh pada yang lain. Pria yang berhenti bekerja beberapa tahun lalu itu tampak lambat menyelesaikan makannya. Ia menikmati masakan itu, atau tidak peduli? Tak ada yang tahu.

Satu per satu mereka meninggalkan ruang makan. Hanya piring-piring kotor yang tersisa di meja makan. Ibu membawanya ke dapur, mencuci piring-piring itu sampai bersih dan mengelap meja makan. Ritual berikutnya adalah menyerahkan anggaran belanja ke pasar hari itu kepada suaminya. Saat-saat inilah yang paling ia benci seumur hidupnya. Ia benci menerima uang dari suaminya yang selalu tampak tak rela dan tak percaya.

Akhirnya, memang bahan-bahan menu itu dipangkas seenak udelnya, ia tak mau tahu apa pun. Ujung-ujungnya ia cuma memberi sepuluh ribu saja untuk semua itu. Tentu saja kurang dari anggaran yang seharusnya, dua puluh ribu. Untuk itu semua, maka otomatis menu berubah; tak ada ayam bumbu rujak, tak ada capcay, yang ada tinggal perkedel jagung dan tempe. Sayur hijau, katanya, bolehlah. Yang penting sayur, dan murah. Ah…

Ibu berjalan ke pasar dengan gontai. Hari itu Jumat. Hari pendek. Anak-anak akan pulang lebih cepat dari biasa. Ia mempercepat langkahnya. Tak mudah membagi waktu, kadang pekerjaan teramat banyaknya sampai-sampai tak ada waktu untuk melakukan hal lain selain urusan dapur. Kadang ia berpikir ada sesuatu yang memang penting untuk dilakukan tapi itu akan mengabaikan urusan dapur dan itu berarti pula mengabaikan selera anak-anaknya. Itu tidak mungkin. Tak ada yang mengerti selera anak-anaknya kecuali dia.

Tapi kadang ia bosan berurusan dengan menu-menu. Ia telah mencoba semua menu yang ada di buku-buku masakan, ia telah mencoba semua resep masakan di teve, dan ia kehabisan ide suatu ketika. Ia mencatat menu-menu yang sudah pernah dibikinnya. Serba-serbi sambal: sambal goreng krecek, sambal goreng hati, sambal godog, sambal kentang, sambal bawang, sambal kecicang, sambal serai, dll. Aneka ca, semacam: ca sawi, ca kangkung, ca bayam, ca tauge, ca bunga kol, dll. Semua jenis perkedel dan gorengan kering: perkedel ketimun, perkedel kentang, perkedel jagung, pastel kentang, kroket kentang, dan seterusnya. Sampai makanan golongan menengah dilihat dari mahalnya bahan pokok semacam: babi kecap, gulai kare ayam, gulai udang, sate bumbu rujak, opor ayam, sup kaki ayam dengan jamur tiongkok, dendeng sapi, kepiting goreng. Juga serba-serbi makanan China semacam: shiobak, koloke, fuyung hai, ang sio hie, hao mie, tao mie, dan seterusnya. Daftar ini masih akan bertambah panjang kalau disebutkan serba-serbi pepes, serba-serbi urap, atau serba-serbi ikan.

Semua menu sudah dicobanya habis tak bersisa, tapi sepertinya masih saja ada sesuatu yang kurang. Ia pun lebih kerap berkreasi, satu menu masakan kadang-kadang dipadu dengan menu masakan lain, misalnya pepes tempe, gulai pakis, sate tahu, dan sebagainya. Tapi masih saja menu-menu itu terasa tak cukup untuk membuat variasi menu yang berbeda setiap harinya. Karena itulah yang akan membuat keluarganya betah dan merindukan makan malam.

Ia pernah merasa ingin berhenti saja memikirkan menu-menu itu, tapi suaminya akan berkata, "Kau telah memilih menjadi perempuan biasa-biasa saja, tidak bekerja dan melayani keluarga. Bahkan kau bersumpah akan membangun keluarga di atas meja makan, kenapa tidak kau pikirkan sebelumnya?"

Ibu merenungkan kata-kata suaminya. Ada yang salah terhadap penilaian-penilaian. Ada yang tak adil di dalamnya. Hampir selalu, yang menjadi korban adalah mereka yang dinilai, mereka yang tertuduh, mereka yang melakukan sesuatu tapi dinilai salah dan dianggap biasa-biasa saja. Tapi apa sesungguhnya yang terjadi dengan biasa dan tak biasa? Apa yang menentukan yang biasa dan yang tak biasa? Menjadi Ibu adalah sangat luar luar luar biasa. Apakah seorang ibu rumah tangga yang mencurahkan seluruh hidupnya untuk keluarga lebih biasa daripada seorang ibu yang tak pernah sekalipun berpikir tentang keluarganya, meski ia punya tujuh perusahaan dan kaya raya? Lagipula, itu cuma perasaan, bukan angka-angka dalam matematika, namanya juga perasaan. Tercium bau hangus. Ibu tersentak dari lamunannya. Tempenya gosong.

Ia menyudahi goreng-menggoreng tempe itu. Lalu dengan bergegas ia menyambar sekeranjang cucian kotor, mulai mencuci. Anaknya datang satu per satu. Ibu belum selesai mencuci. Ia agak tergesa karena harus menyiapkan makan siang untuk anak-anaknya. Setelah menyiapkan makan siang, ia kembali bekerja, menyelesaikan cucian.

Makan siang Ibu adalah jam 3 sore. Setelah itu, ia tidur dua jam. Sehabis jam 5 sore, sehabis tidur siangnya, ia harus menyiapkan makan malam. Sehabis makan malam, jangan kira ia selesai. Ada Bapak yang setiap hari minta dipijit, tapi setiap hari mengeluh pijitan Ibu tak pernah mengalami kemajuan. Ah…

Dia melakukannya selama sisa hidupnya. Ia berkutat dengan semua itu selama puluhan tahun, tak pernah ada yang memujinya, dan ia pun tak ingin dipuji, tapi itukah yang disebut perempuan biasa?

Suatu ketika, sebuah peristiwa datang mengusik keluarga itu.Hari itu Selasa, ketika sebuah perubahan memperkenalkan dirinya kepada keluarga itu. Aries menolak makan bersama. Ia tentu punya alasan di balik aksi mogoknya. Tapi tak ada yang tahu apa alasan Aries.

Ibu kecewa. Menu makan malamnya tak dicicipi selama tiga hari berturut-turut. Ini adalah beban mental bagi seorang Ibu. Ia bukanlah orang yang suka memaksa, tapi selalu membaca dari tanda-tanda dan suka juga menebak-nebak. Sialnya, Aries tak pernah memiliki cukup waktu untuk menjelaskan semua itu. Ia tampak begitu sibuk. Kadang ia bahkan terlihat menyibukkan diri, menghindar dari Ibu. Ia menomorduakan ritual makan malam mereka. Ibu menangis, ia merasa segala usahanya untuk membangun tradisi makan malam ini sia-sia saja. Salahkah jika ia berusaha membikin sesuatu yang kelak retak menjadi abadi? Mungkin memang salah, tapi dulu tak seorang pun cukup berani menunjukkan di mana letak salahnya, tak seorang pun tega mengecewakan Ibu. Tapi Aries, kini telah membuatnya kecewa secara nyata.

Suasana menjadi semakin keruh ketika di hari kelima, keenam dan ketujuh, Aries juga absen makan malam.Ibu bertindak. Ia masuk ke kamar si sulung, lalu, mungkin, bicara di sana. Pisca dan Canestra duduk di depan tivi, tidak mendengar apa-apa.

Satu jam kemudian, Ibu keluar dengan wajah murung, tapi dibikin agar kelihatan berseri. Ia tampak aneh."Aku tahu selama ini kita tak pernah jujur dengan makan malam itu. Satu-satunya yang jujur hanya dia. Kita semua sudah bosan, ya kan? Ibu juga. Dan mulai saat ini, tidak ada lagi kebohongan apa pun. Tinggalkan saja jika kalian memang tak setuju. Ibu juga sudah lelah memikirkan menu-menu makan malam untuk kalian. Ibu ingin merasa tidak perlu menyiapkannya untuk kalian. Ibu akan mencoba. Selamat bersenang-senang!"

Ibu terlihat enteng menyelesaikan persoalannya. Bapak menyusul Ibu ke kamar. Mudah-mudahan mereka bercinta. Ah ya mereka sepertinya tak pernah bercinta lagi sejak beberapa tahun ini. Padahal itu perlu, terutama bagi Ibu yang lelah luar biasa. Fisik dan jiwa.

Pisca menyelinap masuk ke kamar Aries, meninggalkan Canestra yang masih asyik nonton tivi. Ia sungguh ingin tahu, apa yang dibicarakan Ibu dan Aries, sehingga Ibu keluar dengan wajah aneh, murung tapi dipaksakan berseri. Pisca bertanya, "Ada apa?" Aries tak menjawab, namun tiba-tiba menangis dan menenggelamkan wajahnya di bawah bantal. Dengan sesenggukan, ia berkata, "Untuk apa lagi mempertahankan sebuah kepalsuan di depan Ibu? Salah satu dari kita semua telah mengkhianati Ibu, untuk apa lagi semua ini dipertahankan?"

Pisca menangkap ucapan kakaknya dengan jelas, namun ia tak mengerti, dan tak ingin mengerti, karena semua itu terlalu menyedihkan baginya. Apalagi yang lebih menyedihkan ketika tahu seseorang telah berkhianat kepada Ibu? Siapa pun dia, Pisca tak ingin tahu. Ia tak ingin mendendam, apalagi terhadap keluarganya sendiri. Tapi, bukankah Ibu selalu tahu apa yang terjadi? Semua pertanyaan bertumpuk-tumpuk di kepalanya.

Sesuatu yang kelak retak, yang Ibu pernah berusaha membikinnya abadi, kini sudah benar-benar retak berkeping-keping dan tak mungkin disatukan lagi. Sejak saat itu, makan malam bersama tidak rutin lagi bagi mereka. Hanya Ibu yang masih betah di sana. Sesekali Pisca atau Canestra mendampinginya. Mungkin tiba saat ketika ia benar-benar rindu makan malam bersama.

Sialnya, Bapak benar-benar tak memahami persoalan dengan baik. Ia sok bijak dan pandai. Kata-katanya sungguh tak tepat untuk menggambarkan seluruh keadaan ini.

"Benar kan, Ibumu memang perempuan biasa-biasa saja. Ia bahkan menganggap hal remeh ini sebagai kiamat dalam hidupnya!"Pisca meradang. Ia merasa Bapak yang sombong itu harus dihentikan.

"Apa yang biasa? Apa yang tak biasa? Bapak juga laki-laki biasa, yang tak bisa seperti Ibu. Bapak jauh lebih biasa dari Ibu. Ibu, setidaknya berusaha membikin tradisi agar kita tahu arti kebersamaan sekalipun di atas meja makan. Tapi lihatlah Bapak yang hanya suka mengejek tapi tak pernah melakukan apa pun, bahkan tak pernah berusaha melakukan apa pun!"

Bapak diam. Dia kelihatan tersinggung. Tapi Pisca suka dan puas membuatnya tersinggung. Pisca memutuskan untuk menemui Ibu. Ibu menyambutnya dengan senyum. Ia tahu Pisca akan berbicara soal Bapak, soal biasa dan tak biasa. Ibu mencegahnya bicara lebih dulu, "Begini. Bapak benar soal Ibu yang biasa-biasa saja. Ini sudah seharusnya. Ibu menerima semua itu, bukan karena Ibu pasrah tapi Ibu mengerti betul kalian semua dan juga persoalan ini. Ibu memang perempuan biasa, tak ingin menjadi yang tak biasa. Ibu mencintai Bapak, kalian semua. Ibu tak bisa memberi uang, maka Ibu cuma memberi kemampuan Ibu memasak, itu pun jika kalian mau menikmatinya."

"Tapi Bu, ini penghinaan. Masalah makan malam itu bukan masalah sekadar, bukan masalah remeh temeh. Sebesar itu usaha Ibu membangun tradisi kebersamaan di keluarga kita, tapi Bapak bahkan menganggapnya tak ada. Kita belajar satu sama lain di meja makan itu, kita memutuskan hidup kita di atas meja makan itu, dan ingat, ketika Bapak berhenti bekerja di kantor karena penyelewengan dana yang sangat memalukan itu, yang menolong Bapak adalah kita, juga di atas meja makan itu."

"Bapak kini sedang merasa kesepian, ia kehilangan saat-saat terbaiknya, itu hal tersulit yang pernah ditemuinya. Kita harus memahami itu."

Dari beranda, Bapak mendengar semua percakapan itu. Ia berpikir bahwa istrinya memang baik, pengertian dan sabar, tapi sungguh ia sangat biasa, dan yang terpenting, tak menggairahkan. ***Singaraja, 8 November 2005

Peradilan Rakyat

Seorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang pengacara senior yang sangat dihormati oleh para penegak hukum.

"Tapi aku datang tidak sebagai putramu," kata pengacara muda itu, "aku datang ke mari sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan keadilan di negeri yang sedang kacau ini."

Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia menatap putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung.

"Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?"Pengacara muda tertegun. "Ayahanda bertanya kepadaku?""Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujungtombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini."Pengacara muda itu tersenyum."Baik, kalau begitu, Anda mengerti maksudku."

"Tentu saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani, kalau perlu kurang ajar. Aku pisahkan antara urusan keluarga dan kepentingan pribadi dengan perjuangan penegakan keadilan. Tidak seperti para pengacara sekarang yang kebanyakan berdagang. Bahkan tidak seperti para elit dan cendekiawan yang cemerlang ketika masih di luar kekuasaan, namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan untuk menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu diberhalakannya. Kamu pasti tidak terlalu jauh dari keadaanku waktu masih muda. Kamu sudah membaca riwayat hidupku yang belum lama ini ditulis di sebuah kampus di luar negeri bukan? Mereka menyebutku Singa Lapar. Aku memang tidak pernah berhenti memburu pencuri-pencuri keadilan yang bersarang di lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat. Merekalah yang sudah membuat kejahatan menjadi budaya di negeri ini. Kamu bisa banyak belajar dari buku itu."

Pengacara muda itu tersenyum. Ia mengangkat dagunya, mencoba memandang pejuang keadilan yang kini seperti macan ompong itu, meskipun sisa-sisa keperkasaannya masih terasa.

"Aku tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan seluruh sejarah Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan bebas dari kritik. Aku punya sederetan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah Anda lakukan. Dan aku terlalu kecil untuk menentang bahkan juga terlalu tak pantas untuk memujimu. Anda sudah tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena kau bukan hanya penegak keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil dan sempurna, tetapi kau juga adalah keadilan itu sendiri."

Pengacara tua itu meringis."Aku suka kau menyebut dirimu aku dan memanggilku kau. Berarti kita bisa bicara sungguh-sungguh sebagai profesional, Pemburu Keadilan.""Itu semua juga tidak lepas dari hasil gemblenganmu yang tidak kenal ampun!"Pengacara tua itu tertawa."Kau sudah mulai lagi dengan puji-pujianmu!" potong pengacara tua.Pengacara muda terkejut. Ia tersadar pada kekeliruannya lalu minta maaf.

"Tidak apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu katakan," sambung pengacara tua menenangkan, sembari mengangkat tangan, menikmati juga pujian itu, "jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri dengan diskripsi-diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam, karena kamu sangat diperlukan oleh bangsamu ini."

Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu ia meneruskan ucapannya dengan lebih tenang.

"Aku datang kemari ingin mendengar suaramu. Aku mau berdialog.""Baik. Mulailah. Berbicaralah sebebas-bebasnya."

"Terima kasih. Begini. Belum lama ini negara menugaskan aku untuk membela seorang penjahat besar, yang sepantasnya mendapat hukuman mati. Pihak keluarga pun datang dengan gembira ke rumahku untuk mengungkapkan kebahagiannya, bahwa pada akhirnya negara cukup adil, karena memberikan seorang pembela kelas satu untuk mereka. Tetapi aku tolak mentah-mentah. Kenapa? Karena aku yakin, negara tidak benar-benar menugaskan aku untuk membelanya. Negara hanya ingin mempertunjukkan sebuah teater spektakuler, bahwa di negeri yang sangat tercela hukumnya ini, sudah ada kebangkitan baru. Penjahat yang paling kejam, sudah diberikan seorang pembela yang perkasa seperti Mike Tyson, itu bukan istilahku, aku pinjam dari apa yang diobral para pengamat keadilan di koran untuk semua sepak-terjangku, sebab aku selalu berhasil memenangkan semua perkara yang aku tangani.

Aku ingin berkata tidak kepada negara, karena pencarian keadilan tak boleh menjadi sebuah teater, tetapi mutlak hanya pencarian keadilan yang kalau perlu dingin danbeku. Tapi negara terus juga mendesak dengan berbagai cara supaya tugas itu aku terima. Di situ aku mulai berpikir. Tak mungkin semua itu tanpa alasan. Lalu aku melakukan investigasi yang mendalam dan kutemukan faktanya. Walhasil, kesimpulanku, negara sudah memainkan sandiwara. Negara ingin menunjukkan kepada rakyat dan dunia, bahwa kejahatan dibela oleh siapa pun, tetap kejahatan. Bila negara tetap dapat menjebloskan bangsat itu sampai ke titik terakhirnya hukuman tembak mati, walaupun sudah dibela oleh tim pembela seperti aku, maka negara akan mendapatkan kemenangan ganda, karena kemenangan itu pastilah kemenangan yang telak dan bersih, karena aku yang menjadi jaminannya. Negara hendak menjadikan aku sebagai pecundang. Dan itulah yang aku tentang.

Negara harusnya percaya bahwa menegakkan keadilan tidak bisa lain harus dengan keadilan yang bersih, sebagaimana yang sudah Anda lakukan selama ini."

Pengacara muda itu berhenti sebentar untuk memberikan waktu pengacara senior itu menyimak. Kemudian ia melanjutkan.

"Tapi aku datang kemari bukan untuk minta pertimbanganmu, apakah keputusanku untuk menolak itu tepat atau tidak. Aku datang kemari karena setelah negara menerima baik penolakanku, bajingan itu sendiri datang ke tempat kediamanku dan meminta dengan hormat supaya aku bersedia untuk membelanya."

"Lalu kamu terima?" potong pengacara tua itu tiba-tiba.Pengacara muda itu terkejut. Ia menatap pengacara tua itu dengan heran."Bagaimana Anda tahu?"

Pengacara tua mengelus jenggotnya dan mengangkat matanya melihat ke tempat yang jauh. Sebentar saja, tapi seakan ia sudah mengarungi jarak ribuan kilometer. Sambil menghela napas kemudian ia berkata: "Sebab aku kenal siapa kamu."

Pengacara muda sekarang menarik napas panjang."Ya aku menerimanya, sebab aku seorang profesional. Sebagai seorang pengacara aku tidak bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar aku melaksanakan kewajibanku sebagai pembela. Sebagai pembela, aku mengabdi kepada mereka yang membutuhkan keahlianku untuk membantu pengadilan menjalankan proses peradilan sehingga tercapai keputusan yang seadil-adilnya."

Pengacara tua mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti."Jadi itu yang ingin kamu tanyakan?""Antara lain.""Kalau begitu kau sudah mendapatkan jawabanku."Pengacara muda tertegun. Ia menatap, mencoba mengetahui apa yang ada di dalam lubuk hati orang tua itu."Jadi langkahku sudah benar?"Orang tua itu kembali mengelus janggutnya.

"Jangan dulu mempersoalkan kebenaran. Tapi kau telah menunjukkan dirimu sebagai profesional. Kau tolak tawaran negara, sebab di balik tawaran itu tidak hanya ada usaha pengejaran pada kebenaran dan penegakan keadilan sebagaimana yang kau kejar dalam profesimu sebagai ahli hukum, tetapi di situ sudah ada tujuan-tujuan politik. Namun, tawaran yang sama dari seorang penjahat, malah kau terima baik, tak peduli orang itu orang yang pantas ditembak mati, karena sebagai profesional kau tak bisa menolak mereka yang minta tolong agar kamu membelanya dari praktik-praktik pengadilan yang kotor untuk menemukan keadilan yang paling tepat. Asal semua itu dilakukannya tanpa ancaman dan tanpa sogokan uang! Kau tidak membelanya karena ketakutan, bukan?""Tidak! Sama sekali tidak!""Bukan juga karena uang?!""Bukan!""Lalu karena apa?"Pengacara muda itu tersenyum."Karena aku akan membelanya.""Supaya dia menang?"

"Tidak ada kemenangan di dalam pemburuan keadilan. Yang ada hanya usaha untuk mendekati apa yang lebih benar. Sebab kebenaran sejati, kebenaran yang paling benar mungkin hanya mimpi kita yang tak akan pernah tercapai. Kalah-menang bukan masalah lagi. Upaya untuk mengejar itu yang paling penting. Demi memuliakan proses itulah, aku menerimanya sebagai klienku."Pengacara tua termenung."Apa jawabanku salah?"Orang tua itu menggeleng.

"Seperti yang kamu katakan tadi, salah atau benar juga tidak menjadi persoalan. Hanya ada kemungkinan kalau kamu membelanya, kamu akan berhasil keluar sebagai pemenang."

"Jangan meremehkan jaksa-jaksa yang diangkat oleh negara. Aku dengar sebuah tim yang sangat tangguh akan diturunkan."

"Tapi kamu akan menang.""Perkaranya saja belum mulai, bagaimana bisa tahu aku akan menang."

"Sudah bertahun-tahun aku hidup sebagai pengacara. Keputusan sudah bisa dibaca walaupun sidang belum mulai. Bukan karena materi perkara itu, tetapi karena soal-soal sampingan. Kamu terlalu besar untuk kalah saat ini."

Pengacara muda itu tertawa kecil."Itu pujian atau peringatan?""Pujian.""Asal Anda jujur saja.""Aku jujur.""Betul?""Betul!"

Pengacara muda itu tersenyum dan manggut-manggut. Yang tua memicingkan matanya dan mulai menembak lagi."Tapi kamu menerima membela penjahat itu, bukan karena takut, bukan?"

"Bukan! Kenapa mesti takut?!""Mereka tidak mengancam kamu?""Mengacam bagaimana?""Jumlah uang yang terlalu besar, pada akhirnya juga adalah sebuah ancaman. Dia tidak memberikan angka-angka?"

"Tidak."Pengacara tua itu terkejut."Sama sekali tak dibicarakan berapa mereka akan membayarmu?""Tidak.""Wah! Itu tidak profesional!"Pengacara muda itu tertawa."Aku tak pernah mencari uang dari kesusahan orang!""Tapi bagaimana kalau dia sampai menang?"Pengacara muda itu terdiam."Bagaimana kalau dia sampai menang?""Negara akan mendapat pelajaran penting. Jangan main-main dengan kejahatan!""Jadi kamu akan memenangkan perkara itu?"Pengacara muda itu tak menjawab."Berarti ya!""Ya. Aku akan memenangkannya dan aku akan menang!"

Orang tua itu terkejut. Ia merebahkan tubuhnya bersandar. Kedua tangannya mengurut dada. Ketika yang muda hendak bicara lagi, ia mengangkat tangannya.

"Tak usah kamu ulangi lagi, bahwa kamu melakukan itu bukan karena takut, bukan karena kamu disogok.""Betul. Ia minta tolong, tanpa ancaman dan tanpa sogokan. Aku tidak takut."

"Dan kamu menerima tanpa harapan akan mendapatkan balas jasa atau perlindungan balik kelak kalau kamu perlukan, juga bukan karena kamu ingin memburu publikasi dan bintang-bintang penghargaan dari organisasi kemanusiaan di mancanegara yang benci negaramu, bukan?"

"Betul.""Kalau begitu, pulanglah anak muda. Tak perlu kamu bimbang.

Keputusanmu sudah tepat. Menegakkan hukum selalu dirongrong oleh berbagai tuduhan, seakan-akan kamu sudah memiliki pamrih di luar dari pengejaran keadilan dan kebenaran. Tetapi semua rongrongan itu hanya akan menambah pujian untukmu kelak, kalau kamu mampu terus mendengarkan suara hati nuranimu sebagai penegak hukum yang profesional."

Pengacara muda itu ingin menjawab, tetapi pengacara tua tidak memberikan kesempatan."Aku kira tak ada yang perlu dibahas lagi. Sudah jelas. Lebih baik kamu pulang sekarang. Biarkan aku bertemu dengan putraku, sebab aku sudah sangat rindu kepada dia."

Pengacara muda itu jadi amat terharu. Ia berdiri hendak memeluk ayahnya. Tetapi orang tua itu mengangkat tangan dan memperingatkan dengan suara yang serak. Nampaknya sudah lelah dan kesakitan.

"Pulanglah sekarang. Laksanakan tugasmu sebagai seorang profesional.""Tapi..."

Pengacara tua itu menutupkan matanya, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. Sekretarisnya yang jelita, kemudian menyelimuti tubuhnya. Setelah itu wanita itu menoleh kepada pengacara muda."Maaf, saya kira pertemuan harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu banyak beristirahat. Selamat malam."

Entah karena luluh oleh senyum di bibir wanita yang memiliki mata yang sangat indah itu, pengacara muda itu tak mampu lagi menolak. Ia memandang sekali lagi orang tua itu dengan segala hormat dan cintanya. Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga wanita itu, agar suaranya jangan sampai membangunkan orang tua itu dan berbisik.

"Katakan kepada ayahanda, bahwa bukti-bukti yang sempat dikumpulkan oleh negara terlalu sedikit dan lemah. Peradilan ini terlalu tergesa-gesa. Aku akan memenangkan perkara ini dan itu berarti akan membebaskan bajingan yang ditakuti dan dikutuk oleh seluruh rakyat di negeri ini untuk terbang lepas kembali seperti burung di udara. Dan semoga itu akan membuat negeri kita ini menjadi lebih dewasa secepatnya. Kalau tidak, kita akan menjadi bangsa yang lalai."

Apa yang dibisikkan pengacara muda itu kemudian menjadi kenyataan. Dengan gemilang dan mudah ia mempecundangi negara di pengadilan dan memerdekaan kembali raja penjahat itu. Bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh. Ia merayakan kemenangannya dengan pesta kembang api semalam suntuk, lalu meloncat ke mancanegara, tak mungkin dijamah lagi. Rakyat pun marah. Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan poster-poster raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan dibakar. Hakimnya diburu-buru. Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi mayat. Tetapi itu pun belum cukup. Rakyat terus mengaum dan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah.

Pengacara tua itu terpagut di kursi rodanya. Sementara sekretaris jelitanya membacakan berita-berita keganasan yang merebak di seluruh wilayah negara dengan suaranya yang empuk, air mata menetes di pipi pengacara besar itu.

"Setelah kau datang sebagai seorang pengacara muda yang gemilang dan meminta aku berbicara sebagai profesional, anakku," rintihnya dengan amat sedih, "Aku terus membuka pintu dan mengharapkan kau datang lagi kepadaku sebagai seorang putra. Bukankah sudah aku ingatkan, aku rindu kepada putraku. Lupakah kamu bahwa kamu bukan saja seorang profesional, tetapi juga seorang putra dari ayahmu. Tak inginkah kau mendengar apa kata seorang ayah kepada putranya, kalau berhadapan dengan sebuah perkara, di mana seorang penjahat besar yang terbebaskan akan menyulut peradilan rakyat seperti bencana yang melanda negeri kita sekarang ini?" ***

Cirendeu 1-3-03

14.6.10

SIPUT DAN LALAT


Suatu hari, Langit begitu Indah & Cerah,
Awal dari Musim Semi yang membahagiakan..

Di bawah Pohon CERI,
Tampak seekor Siput Kecil merayap ke atas perlahan..
Sementara itu, beberapa saat kemudian, muncul seekor Lalat yang terbang kesana kemari dengan ceria sambil memperhatikan si Siput..

Melihat si Siput merayap perlahan,
Sang Lalat berkata :
"Hai, Siput, kamu hendak kemana?"
Dengan tenang, sambil terus merayap,
Si Siput kecil menjawab :
"Mau makan Buah CERI"

"Ha ha ha, Siput Bodoh..
Mana ada Buah CERI?
Aku dari atas sana,
Buah CERInya nggak ada"
Lalat menertawakan perilaku si Siput Kecil..
Kata si Siput Kecil :
"Aku nggak peduli,
Saat aku tiba di atas,
Pohon CERInya pasti sudah berbuah"


Pesan Moral:
Kadang bentuk nyata Tujuan Hidup tidak tampak Jelas..
Namun, mereka yang SUKSES adalah mereka yang Bisa menembus waktu,
Melihat ke depan & tetap Teguh,
Gigih Bergerak untuk mencapai Impiannya..

Orang lain mungkin tidak melihatnya,
Bahkan mungkin mencemooh, karena mereka tidak mengerti..
Orang lain akan berusaha menjatuhkan semangat Anda..

Namun pada saat Anda mencapai impian Anda,
Pada saat Anda memperoleh Buah CERI yang Anda inginkan,
Barulah mereka mengerti bahwa Impian Anda bukanlah Khayalan semata..

Karena itu, Jangan biarkan orang lain merebut mimpi Anda sebelum terwujud..
Beranilah Bermimpi
& Tetaplah TEGUH Bergerak untuk meraih mimpi tersebut..

27.4.10

..........Kimya.........


Mari berbincang dalam diam teman
kau dengan pikiranmu...aku dalam hatiku
tentang apa yang kau ikuti
aku dengan arahku sendiri
kita dalam masing-masing pegangan
bukan soal apa-apa
namun apa-apa yang mungkin jadi persoalan

Saat ini cuma bisa begini..
Tertawa dalam senyuman
senyuman dalam artian
tak perlu bicara
karena kata-kata hanyalah sebuah perwakilan
seringkali jauh dari yang terasa
lidah lebih sering berkilah
akan kenyataan yang ada di dalam

Tak perlu seorang pun tahu
cukup simpan di dalam sini
bisa jadi sama atau malah jauh berbeda
walau seringkali salah arti
karena masing-masing kita masih sama-sama mencari
tentang siapa sebenarnya kita ini
tentang arah dan tujuan
tentang arti kebaikan

namun kurasa
dalam pikirku berkata
kita memang terlalu banyak diam
seolah-olah enggan tu melangkah
walau kita sedang mencari arah
dengan kaki tak teraliri darah
suara-suara yang rapat terkunci
masuk tanpa bisa keluar lagi

Lalu jika sudah ada yang mulai mengerti
atau mungkin aku pribadi
mungkin kita bisa mulai bicara
dalam arti sebenarnya

Andaikata itu masih belum mungkin
jangan sekali-kali dipaksakan
kita bisa mulai lagi...
perbincangan tanpa suara
coba simak perkataan sang Teladan
berkata yang baik..jika tidak
mari Diam...

21.4.10

Empat Pola Dasar Watak Manusia

Ada empat pola watak dasar pada manusia yang kalau saja semuanya itu bisa kita pahami, tidak akan ada lagi kesulitan dalam menjalin hubungan dengan orang lain.Dengan mengetahui dasar-dasar dari kepribadian seseorang,tentunya kitapun akan dapat lebih mudah untuk memahami apa sih maunya dia dan apa sih kira-kira yang dia senangi.Kita pun akan menjadi mengerti tentang alasan mengapa si "A" tiba-tiba marah saat kita tidak menyetujui pendapatnya, dan juga mengapa si "B" lebih suka kamarnya berantakan ketimbang rapi.Sanguin,koleris,melankolis dan phlegmatis.. yah,itulah ke-4 watak tersebut.Saya mulai mencoba mengamati hal ini sejak 4 tahun yang lalu,dan pada posting kali ini saya ingin berbagi sedikit pengetahuan mengenainya,tentunya dengan bahasa penyampaian yang unik dari apa saja yang telah saya amati pada kehidupan sehari-hari kepribadian tersebut. Termasuk ke kategori manakah kita?check this out..!^


Florence Litteur, penulis buku terlaris “Personality Plus” mengatakan bahwa Ke-4 watak tersebut ada dalam setiap diri manusia..,namun yang membedakan hanyalah persentase nya saja.. pasti ada salah satu watak yang paling menonjol di antara semuanya.

Yang pertama, kata Florence adalah golongan Sanguinis, “Yang Populer”. Mereka ini cenderung ingin populer, ingin disenangi oleh orang lain. Hidupnya penuh dengan bunga warna-warni. Mereka senangsekali bicara tanpa bisa dihentikan. Gejolak emosinya bergelombang dan transparan. Pada suatu saat ia berteriak kegirangan, dan beberapa saat kemudian ia bisa jadi menangis tersedu-sedu.

Namun orang-orang sanguinis ini sedikit agak pelupa, sulit berkonsentrasi, cenderung berpikir `pendek’, dan hidupnya serba tak beratur. Jika suatu kali anda lihat meja kerja teman anda cenderung berantakan, agaknya bisa jadi ia sanguinis. Kemungkinan besar ia pun kurang mampu berdisiplin dengan waktu, sering lupa pada janji apalagi bikin planning/rencana. Namun kalau disuruh melakukan sesuatu, ia akan dengan cepat mengiyakannya dan terlihat sepertinya betul-betul hal itu akan ia lakukan. Dengan semangat sekali ia ingin buktikan bahwa ia bisa dan akan segera melakukannya. Tapi percayalah, beberapa hari kemudian ia tak lakukan apapun juga karena mereka dalam golongan ini cepat sekali merasa bosan terhadap sesuatu.Sanguinis paling tidak bisa menyimpan rahasia lho..

Lain lagi dengan tipe kedua, golongan melankolis, “Yang Sempurna”. Agak berseberangan dengan sang sanguinis. Cenderung serba teratur, rapi, terjadwal, tersusun sesuai pola. Umumnya mereka ini suka dengan fakta-fakta, data-data, angka-angka dan sering sekali memikirkan segalanya secara mendalam. Dalam sebuah pertemuan, orang sanguinis selalu saja mendominasi pembicaraan, namun orang melankoli cenderung menganalisa, memikirkan, mempertimbangkan, lalu kalau bicara pastilah apa yang ia katakan betul-betul hasil yang ia pikirkan secara mendalam sekali,tidak jarang golongan melankolis dalam menjawab sebuah pertanyaan,membutuhkan waktu yang lumayan lama.. Biasanya,disaat teman-temannya lagi ngumpul,dia malah asyik merenung sendirian di kamarnya.^

Orang melankolis selalu ingin serba sempurna. Segala sesuatu ingin teratur. Karena itu jangan heran jika balita anda yang 'melankolis’ takkan bisa tidur hanya gara-gara selimut yang membentangi tubuhnya belum tertata rapi. Dan jangan pula coba-coba mengubah isi lemari yang telah disusun istri `melankolis’ anda, sebab betul-betul ia tata-apik sekali, sehingga warnanya, jenisnya, klasifikasi pemakaiannya sudah ia perhitungkan dengan rapi. Kalau perlu ia tuliskan satu per satu tata letak setiap jenis pakaian tersebut. Ia akan dongkol sekali kalau susunan itu tiba-tiba jadi lain.

Ketiga, manusia Koleris, “Yang Kuat”. Mereka ini suka sekali mengatur orang, suka tunjuk-tunjuk atau perintah-perintah orang. Ia tak ingin ada penonton dalam aktivitasnya. Bahkan tamu pun bisa sajaia `suruh’ melalukan sesuatu untuknya. Akibat sifatnya yang `bossy’ itu membuat banyak orang koleris tak punya banyak teman. Orang-orang berusaha menghindar, menjauh agar tak jadi `korban’ karakternya yang suka `ngatur’ dan tak mau kalah itu.Biasanya kalau lagi nonton Acara TV,orang koleris ini paling sering menggonta-ganti channel.Lihat ada iklan sedikit saja,langsung diganti channel.

Orang koleris senang dengan tantangan, suka petualangan. Mereka punya rasa, “hanya saya yang bisa menyelesaikan segalanya; tanpa saya berantakan semua”. Karena itu mereka sangat “goal oriented”,tegas, kuat, cepat dan tangkas mengerjakan sesuatu. Baginya tak ada istilah tidak mungkin. Seorang wanita koleris, mau dan berani naik tebing, memanjat pohon, bertarung ataupun memimpin peperangan. Kalau ia sudah kobarkan semangat “ya pasti jadi…” maka hampir dapat dipastikan apa yang akan ia lakukan akan tercapai seperti yang ia katakan. Sebab ia tak mudah menyerah, tak mudah pula mengalah.

Hal ini berbeda sekali dengan jenis keempat, sang Phlegmatis “Cinta Damai”. Kelompok ini tak suka terjadi konflik, karena itu disuruh apa saja ia mau lakukan, sekalipun ia sendiri nggak suka. Baginya kedamaian adalah segala-galanya. Jika timbul masalah atau pertengkaran, ia akan berusaha mencari solusi yang damai tanpa timbul pertengkaran. Ia mau merugi sedikit atau rela sakit, asalkan masalahnya nggak terus berkepanjangan.

Kaum phlegmatis kurang bersemangat, kurang teratur dan serba dingin. Cenderung diam, kalem, dan kalau memecahkan masalah umumnya sangat menyenangkan. Dengan sabar ia mau jadi pendengar yang baik, tapi kalau disuruh untuk mengambil keputusan ia akan terus menunda-nunda.Kalau anda lihat tiba-tiba ada sekelompok orang berkerumun mengelilingi satu orang yang asyik bicara terus, maka pastilah para pendengar yang berkerumun itu orang-orang phlegmatis. Sedang yang bicara tentu saja sang Sanguinis.

Kadang sedikit serba salah berurusan dengan para phlegmatis ini. Ibarat keledai, “kalau didorong ngambek, tapi kalau dibiarin nggak jalan”. Jadi kalau anda punya staf atau pegawai phlegmatis, anda harus rajin memotivasinya sampai ia termotivasi sendiri oleh dirinya.

Mencoba Mengerti Orang Lain

Nah, sekarang anda masuk golongan mana? Coba amati istri, suami atau anak-anak anda, mereka golongan apa? Jangan-jangan anda sekarang mulai mengerti mengapa suami-istri-anak-rekan anda bertingkahlaku “seperti itu” selama ini. Dan anda pun akan tertawa sendiri mengingat-ingat berbagai perilaku dan kejadian selama ini.

Ya, tapi apakah persis begitu? Tentu saja tidak. Florence Litteur, berdasarkan penelitiannya bertahun-tahun telah melihat bahwa ternyata keempat watak itu pada dasarnya juga dimiliki setiap orang. Yang beda hanyalah `kadar’nya. Oleh sebab itu muncullah beberapa kombinasi watak manusia.

Ada orang yang tergolong Koleris Sanguinis. Artinya kedua watak itu dominan sekali dalam mempengaruhi cara kerja dan pola hubungannya dengan orang lain. Di sekitar kita banyak sekali orang-orang koleris sanguinis ini. Ia suka mengatur-atur orang, tapi juga senang bicara (dan mudah juga jadi pelupa).

Ada pula golongan Koleris Melankolis. Mungkin anda akan kurang suka bergaul dengan dia. Bicaranya dingin, kalem, baku, suka mengatur, tak mau kalah dan terasa kadang menyakitkan (walaupun sebetulnya iatak bermaksud begitu). Setiap jawaban anda selalu ia kejar sampai mendalam. Sehingga kadang serasa diintrogasi, sebab memang ia ingin sempurna, tahu secara lengkap dan agak dingin. Menghadapi orang koleris melankolis, anda harus fahami saja sifatnya yang memang `begitu’ dan tingkatkan kesabaran anda. Yang penting sekarang anda tahu, bahwa ia sebetulnya juga baik, namun tampak di permukaan kadang kurang simpatik, itu saja.

Lain lagi dengan kaum Phlegmatis Melankolis. Pembawaannya diam, tenang, tapi ingat… semua yang anda katakan, akan ia pikirkan, ia analisa. Lalu saat mengambil keputusan pastilah keputusannya berdasarkan perenungan yang mendalam dan ia pikirkan matang-matang.

Banyak lagi tentunya kombinasi-kombinasi yang ada pada tiap manusia. Akan tetapi yang penting adalah bagaimana memanfaatkannya dalam berbagai aktivitas hidup kita. Jika suami istri saling mengerti sifat dan watak ini, mereka akan cenderung berusaha `memaafkan’ pasangannya. Lalu berusaha untuk menyikapinya secara bijaksana.

Begitu pula saat menerima calon pegawai. Untuk bidang-bidang yang membutuhkan tingkat ketelitian dan keteraturan yang tinggi, jauh lebih baik anda tempatkan orang-orang yang melankolis sempurna. Sedang di bagian promosi, iklan, resepsionis, MC, humas, wiraniaga, tentu jauh lebih tepat anda tempatkan orang-orang sanguinis. Lalu jangan posisikan orang-orang phlegmatis di bagian penagihan ataupun penjualan. Hasilnya pasti akan amat mengecewakan.

Begitulah, manusia memang amat beragam. Muncul sedikit tanda tanya, diantara semua watak itu, mana yang paling baik? Jawabannya, menurut Florence, tak ada yang paling baik. Semuanya baik. Tanpa orang sanguinis, dunia ini akan terasa sepi. Tanpa orang melankoli, mungkin tak ada kemajuan di bidang riset, keilmuan dan budaya. Tanpa kaum koleris, dunia ini akan berantakan tanpa arah dan tujuan. Tanpa sang phlegmatis, tiada orang bijak yang mampu mendamaikan dunia.

Yang penting bukan mana yang terbaik. Sebab kita semua bisa mengasah keterampilan kita berhubungan dengan orang lain (interpersonal skill). Seorang yang ahli dalam berurusan dengan orang lain, ia akan mudah beradaptasi dengan berbagai watak itu. Ia tahu bagaimana menghadapi sifat pelupa dan watak acaknya kaum sanguinis, misalnya dengan memintanya untuk selalu buat rencana dan memintanya melakukansegera. Ia jago memanas-manasi (menantang) potensi orang koleris mencapai goal-nya, atau `membakar’ sang phlegmatis agar segera bertindak saat itu juga.”Inilah seninya”, kata Florence “dalam berinteraksi dengan orang lain”. Tentu saja awalnya adalah, “Anda dulu yang harus berubah”. Belajarlah jadi pengamat tingkah laku manusia…(lalu tertawalah)!..^^

Nah,setelah membaca ini,termasuk kedalam kategori manakah anda??^^
Kalau masih bingung,anda bisa mengetesnya disini

Oia,hampir lupa!,saya ingin sekali membahas tentang bagaimana tata cara termasuk pemakaian bahasa yang baik untuk kita pergunakan dalam berhubungan dengan masing-masing golongan tersebut.. tapi,bersambung aja yah.. dah pegel nih.. tunggu postingan berikutnya oke?^^

See u..

sumber : http://ceritausang-aey.blogspot.com

29.3.10

Muda-Muda kok Mudah Lupa ??

oleh Leonardo Paskah
Anda sering lupa untuk membawa dompet ketika berpergian? Atau lupa dimana terakhir meletakkan hp saat sedang di rumah sehingga perlu sampai memiscalnya untuk tahu keberadaan si hp? Atau apakah Anda sering mengeluh bahwa apa yang baru dipelajari beberapa waktu lalu sudah lupa? Mungkin dewasa ini semakin banyak orang yang mengeluhkan berbagai hal seperti diatas. Intinya, mengapa kita semakin mudah lupa? Jika kita menceritakan hal ini dengan teman sebaya, paling-paling mereka hanya mengatakan dengan enteng”sudah pikun kali loe!”

Terkadang lupa akan sesuatu yang kecil tidak akan meresahkan, tetapi bila terjadinya berulang-ulang atau terkait dengan kelupaan yang serius tentunya masalah ini sering meresahkan. Lupa atau pikun sudah melekat erat di persepsi masyarakat sebagai suatu fenomena alamiah pada orang yang semakin menua. Padahal kepikunan pada orang tua itu ada batasnya, yaitu kapan dibilang alamiah, kapan pula sudah masuk ke tahap patologis suatu penyakit. Tetapi isu yang lebih hangat saat ini adalah banyaknya gejala ”kepikunan” yang dialami orang lebih muda seperti Anda dan saya. Persoalan kepikunan yang sering terjadi adalah yang sederhana seperti tertuliskan oleh contoh di atas.

Kepikunan macam tersebut pada usia relatif muda sesungguhnya seringkali bukanlah suatu penyakit otak seperti misalnya dementia pada orang tua. Ada banyak faktor yang dapat membuat mengapa orang muda jaman sekarang banyak lupa dan ternyata jika ditilik lebih teliti, faktor psikis merupakan faktor penting. Untuk dapat memasukkan suatu ide atau ingatan ke dalam gudang memori kita di otak, seseorang haurs memiliki daya konsentrasi dan fokus yang baik. Selain itu, ingatan yang baik harus didukung oleh tindakan repetitif (atau sering berulang-ulang dipraktekkan atau dikeluarkan dari pikiran) dan motivasi yang merupakan alasan kuat mengapa otak Anda harus bersusah payah menyimpan data memori untuk diri Anda. Jadi gangguan dari salah satu faktor tersebut dapat membuat Anda mudah ’pikun’.

Jaman sekarang, masyarakat perkotaan seringkali hidup dalam serba keterburu-buruan dan melakukan banyak aktivitas dalam waktu yang berdekatan. Semua itu akan membuat pikiran sulit terfokuskan, menimbulkan akumulasi kelelahan yang berakibat daya konsentrasi melorot apalagi jika ditambah insomnia yang telah menjadi rekan setia setiap malam. Stress dan kecemasan di lain pihak akan semakin menutup pintu masuk memori di dalam otak. Memori kita memiliki 4 derajad, yaitu memori segera, jangka pendek, jangka sedang dan jangka panjang. Dan otak kita bertugas menjadi filter untuk setiap info yang masuk, mana yang akan masuk ke arah memori derajad lebih tinggi yaitu memori jangka panjang. Kebanyakan aktivitas kita yang dilakukan secara terburu-buru hanya sempat mengisi lubang memori segera atau jangka pendek dan ketika kesibukan lain mengisi kepala kita maka filter otak akan menyaring dan membuangnya. Hanya hal-hal yang berkesan, masuk dengan konsentrasi dan minat tinggi serta sering diulang-ulang yang dapat mengisi memeori jangka panjang. Dan itulah masalahnya mengapa kita mudah lupa akan hal-hal sederhana dalam keseharian kita, karena kita seringkali kurang konsentrasi dan cemas dalam banyak hal. Akibatnya banyak energi kita tersedot ke kecemasan dan beban pikiran tersebut.

Dementia

Kepikunan yang berupa penyakit yang sesungguhnya dalam dunia medis adalah dementia. Dementia ditandai kerusakan struktural otak yang nyata sehingga bermanifestasi pada sekumpulan gejala sehari-hari yang kompleks dalam hal pemikiran dan perilaku. Dementia merupakan sekumpulan gangguan kognitif yang meliputi kemampuan konsentrasi, intelektual ( berhitung), bersosialisasi (berbicara), memori, orientasi (seperti tahu sekarang hari apa, dimana, siapa dirinya), gangguan gnosia (pengenalan objek maupun wajah orang) serta gangguan apraxia (ketidakmampuan melakukan satu paket gerakan rutin seperti memakai kemeja). Gejala dementia jadi bukanlah semata pikun atau gangguan memori, tetapi lebih meliputi hal yang kompleks dalam berbagai segi kehidupan. Penderita dementia sering mengamuk tidak jelas, merasa banyak orang sedang menguntit atau menjelekkannya, tidak dapat kencing maupun buang air besar sendiri, sering telanjang, pemurung, atau yang lebih menyedihkan lagi, tidak mengenal siapapun bahkan istri dan anaknya sekalipun. Tentunya semua gejala ini muncul secara bertahap, dan mungkin saja diawali dengan mudah lupa atau kepikunan serta disorientasi ringan.

Yang unik gejala awal lupa atau kepikunan (amnesia) pada dementia maupun amnesia jenis organik lainnya adalah menimpa ingatan jangka pendek-sedang. Jadi pasien dementia tahap awal mungkin masih ingat akan hal-hal yang terjadi saat jaman perang dulu, maupun saat kecilnya, sehingga mereka seringkali jika masih dapat berfungsi bicara bercerita melulu tentang ja-dul (jaman dulu). Itu karena memang waktu-waktu tersebutlah yang masih menempel dalam pikiran mereka. Ini disebabkan karena ingatan jangka panjang itu adalah hasil filter yang kuat dari sistem memori kita sehingga akan tertanam dengan kuat pula pada gudang data utama yaitu di bagian hippocampus, sehingga memang menjadi hal yang paling sulit dihapus.

Dementia dapat disebabkan banyak hal, tidak kurang meliputi lebih dari dari 70 penyebab. Salah satu jenis yang sering dijumpai adalah dementia Alzheimer yang hingga saat ini belum ada satupun obat yang benar-benar dapat menyembuhkannya. Beberapa penyebab lainnya yang dapat menimbulkan komplikasi berupa dementia adalah pasca-stroke, pasca trauma pada kepala yang berat, Parkinson lanjut, pasien HIV-AIDS, penyakit sapi gila, dan juga mereka yang terlahir dengan sindrom genetik seperti sindrom Down akan lebih mudah terkena dementia. Alkoholisme berat juga bukan jarang terjadi terutama di negara Barat. Peminum alkohol berat umumnya mengalami defisiensi thiamine (vit B1) yang penting dalam fungsi saraf di dalam otak, jika hal ini berlanjut lama maka mereka akan mengalami sindrom Korsakof yang bergejala antara lain amnesia (lupa ingatan) permanen. Salah satu isu yang sedang merebak saat ini tentang penyebab dementia adalah keterkaitan dementia dengan menopause dan andropause. Hal ini, terutama yang terkait andropause sedang dalam penelitian lebih lanjut

Dementia umumnya terjadi pada mereka yan berusia >65 tahun yang disebut dementia senilis. Namun isu yang sedang hangat menghiasi media saat ini adalah dementia yang terjadi pada usia lebih muda di bawah 65 tahun, bahkan ada kasus terjadi pada usia 30an tahun! Tampak berbagai macam penyakit degeneratif seperti penyakit saraf dan jantung saat ini semakin sering terjadi pada usia lebih muda. Belum diketahui pasti faktor apa saja yang membuat dementia semakin gencar terjadi pada usia lebih muda. Di Inggris saja sudah dilaporkan ada 18000 pasien dementia yang berusia <65 tahun pada tahun 2005, angka yang sangat mengerikan untuk suatu negara yang jumlah penduduknya tidak terlalu banyak. Di Indonesia? Kita masih tidak tahu. Tapi seiring stroke yang sudah cukup sering saya jumpai pada beberapa pasien berusia 35an tahun, saya kira dementia pada usia muda yang primer maupun sekunder pasca stroke sudah cukup banyak berada. Dementia yang terjadi pada usia lebih muda, walaupun memiliki gejala yang sama dengan dementia senilis, memiliki dampak yang lebih besar pada diri si pasien. Saat usia paruh baya, ia sedang berada dalam puncak karier, sedang hangat-hangatnya kehidupan berkeluarga, sedang menjadi tulang punggung keluarga maupun sedang dalam aktivitas fisik yang banyak. Ketika dementia masuk dalam hidup mereka, bisa dibayangkan betapa besar kehancuran yang mengancam jika mereka tanpa medapatkan dukungan yang memadai dari keluarga. Oleh karena itu dementia pada orang muda lebih sulit untuk diterima sehingga lebih sulit pula untuk dimanajemen terapi. Dementia pada usia muda membutuhkan perhatian tersendiri karena meliputi lingkup permasalahan dan pendekatan yang berbeda dari dementia senilis. Depresi dan Kepikunan Sebelum kepikunan pada usia muda dicurigai sebagai younger onset dementia, adalah lebih penting kita menyingkirkan permasalahan psikis yang bisa jadi melatarbelakangi ’kepikunan’ tersebut. Depresi dalam berbagai derajadnya saat ini banyak diderita masyarakat, terutama masyarakat perkotaan. Depresi sangat potensial mengganggu konsentrasi maupun minat seseorang sehingga potensial juga menimbulkan gejala mudah lupa atau ’pikun’. Dan hal satu ini jauh lebih banyak dijumpai ketimbang dementia. Gejala utama dari depresi berupa 3M yaitu MINAT menurun (jadi malas melakukan apa yang tadinya dihobikan), MOOD yang menurun (bawaannya negative thinking dan pemurung terus) serta MOTORIK yang menurun (jadi mudah lelah, capai). Gejala tambahan lain dari depresi bisa berupa gangguan makan (bisa jadi tambah sering makan atau kurang makan), gangguan tidur (bisa insomnia atau malah tidur mulu), sering sakit kepala, gangguan fisik lain,dll. Jika Anda memiliki gejala-gejala semacam diatas dan Anda menjadi sering lupa maka kepikunan itu adalah buah dari depresi yang ada. Depresi memang salah satu gangguan yang harus dipikirkan sebagi bandingan dementia karena penderita depresi yang ebrat sekalipun dapat memiliki gejala mirip dementia seperti pikun, cuek akan suasana sekitar, mudah marah-marah, berpakaian dengan sekenanya saja dll. Dan saya kira banyaknya kepikunan atau mudah lupa pada masyarakat perkotaan yang aktif dan berusia relatif muda lebih banyak disebabkan oleh karena depresi ketimbang dementia atau penyakit lainnya. Cara menghilangkan mudah lupa semacam ini? Yaa depresinya harus ditangani dengan baik antara lain jangan malu untuk ke psikiater.

sumber : http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=7524

22.3.10

Bagaimana Belajar Mencintai Pekerjaan?

Banyak faktor yang menentukan seseorang bisa mencintai pekerjaannya atau tidak. Kesesuaian latar belakang pendidikan, keterampilan, pengetahuan, dan minat seseorang dengan pekerjaan akan membuat seseorang merasa nyaman dengan pekerjaannya.

Menurut Donna Turner, praktisi dari Sumber Daya Manusia Experd, tercapainya harapan seseorang akan kondisi lingkungan fisik kerja yang sesuai, hubungan atasan dan bawahan yang harmonis, gaji dan reward yang pas, tantangan dan kompleksitas kerja yang sesuai dengan kapasitas pribadi juga ikut menentukan.

Selain itu masih ada juga citra positif perusahaan tempat seseorang bekerja, load kerja, manajemen waktu yang efisien, serta masih banyak faktor lain. Semua ini akan menentukan bahagia-tidaknya seseorang dengan pekerjaan yang ia lakukan. Anda bisa menelusuri di sini. Apa saja penyebab ketidakbahagiaan Anda untuk kemudian dicari jalan keluarnya.

1. Konsultasi pada psikolog karier
Pertimbangkanlah kembali jika Anda berpikir bahwa rutinitas adalah hal yang menjadi batu sandungan bagi Anda, perhitungkan sejauh mana rutinitas yang bisa Anda toleransi, dan sejauh apa yang bisa membuat Anda tertekan dan terbebani. Apakah rutinitas yang berkaitan dengan interpersonal, suasana fisik kantor, prosedur/proses kerja, ataupun hasil kerja, yang membuat Anda tidak bahagia dengan pekerjaan saat ini.

Berkonsultasi dengan psikolog karier bisa membantu Anda mengakses kemampuan diri yang terpendam. Anda bisa mengikuti tes-tes minat serta alat-alat ukur/assesment yang digunakan dalam penelusuran karier. Dengan begitu, Anda bisa mengetahui jenis pekerjaan/karier, serta minat yang sesuai bagi Anda.

2. Alternatif solusi praktis
Jika ternyata pekerjaan/karier yang Anda jalani sekarang kurang sesuai, pertimbangkan untuk mengawali lagi pilihan pekerjaan yang lebih cocok. Jika ternyata pekerjaan/karier Anda saat ini sudah sesuai, pertimbangkan faktor-faktor apa yang menjadi penghambat kepuasan Anda bekerja saat ini. Sebagaimana diurai di atas, diskusikan alternatif solusi praktis apa saja yang bisa Anda ambil untuk menentukan langkah selanjutnya.

Lihat pula kecenderungan Anda pada masa-masa sebelumnya. Misal, dalam tiga tahun terakhir, Anda sudah tiga kali pindah kerja dengan siklus waktu kerja yang cenderung pendek, bisa diindikasikan bahwa ketika Anda mulai merasa menguasai suatu hal, lalu merasa pekerjaan yang dilakoni sebagai rutinitas, berarti Anda kurang tertantang. Jika begitu, cobalah cari tantangan pekerjaan yang sifatnya moderate (sedang) untuk meningkatkan semangat kerja Anda. Setiap unit kerja tentu memiliki ragam spektrum kerja dengan tingkat kesulitan dan kompleksitas kerja yang berbeda.

3. Tumbuhkan "mindset" positif
Diskusikan dengan atasan Anda, kemungkinan mendapatkan tanggung jawab kerja yang baru, yang bisa meningkatkan level keterampilan dan pengetahuan Anda. Ajukan diri untuk terlibat dalam project baru yang berkaitan dengan role kerja Anda, jika terbuka tawaran tersebut di tempat kerja Anda. Bergabunglah dengan grup profesi, yang sesuai dengan profesi Anda, dengan memperluas networking sekaligus meng-update regulasi baru, tren, dan ilmu baru, berkaitan dengan profesi kerja Anda. Hal ini tentu akan bermanfaat bagi perusahaan Anda saat ini maupun bagi Anda pribadi.

Bisa-tidaknya Anda menikmati pekerjaan tergantung juga pada bagaimana mindset Anda terhadap pekerjaan tersebut. Tumbuhkan mindset positif. Visualisasikan hal-hal detail dan menarik mengenai pekerjaan yang sudah didapatkan dan ingin Anda optimalkan. Tanamkan itu di benak dan hati Anda dari waktu ke waktu. Hal ini akan mendorong kecintaan terhadap pekerjaan dan membuat Anda tergerak membereskan dan mengatasi hal-hal yang mengganjal rasa suka Anda pada pekerjaan tersebut.

Selamat mencoba!

sumber : kompas.com

23.2.10

Jamur Asal Brazil yang Bisa Menyala

Beberapa jenis jamur yang tumbuh di hutan tropis Taman Wisata Nasional Lembah Ribeira, dekat Sao Pulo, Brazil memendarkan cahaya saat sekitarnya gelap. Jamur-jamur tersebut memiliki kemampuan bioluminescent karena reaksi kimia di tubuhnya menghasilkan cahaya berwarna hijau.

Jamur-jamur yang ditemukan di Brazil itu termasuk dalam genus Mycena. Di seluruh dunia terdapat sekitar 500 jenis jamur yang masuk ke dalam genus ini, tapi hanya 33 persen yang memiliki kemampuan bioluminescent.

Ada lebih dari 10 jenis jamur bioluminescent yang baru ditemukan di Brazil sejak 2002, empat di antaranya merupakan spesies yang belum diketahui sebelumnya. Temuan ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan Cassius Stevani, profesor kimia dari Universitas Sao Paulo, Dennis Desjardin, profesor ilmu jamur dari Universitas Negeri San Fransisco California, dan Marina Capelari dari Institut Botani Brazil.

Berikut gambarnya
Quote:








16.2.10

Antara Tawa dan Senyuman

Aku yang menyukai keduanya
yaitu tawa dan senyuman
temani aku tuk mulai hari ini...
pagi kubuka dengan senyuman
kaki kulangkah dengan sedikit canda tawa

Bagian dari hidup adalah tipu daya dan permainan
kala menang tertawa bahagia
tersenyum sedih saat engkau berduka
keseimbangan yang mewarnai alam

Cukup satu senyuman untuk mulai persahabatan
namun keburukan kadang diawali oleh gelak tawa
ya...banyak tawa yang membunuh hati
melupakan arti sebenarnya jati diri

Diantara tawa dan senyuman
harus ditentukan pilihan
tawa memang sehat
namun senyuman akan lebih menerangi

Masukkan Code ini K1-3331A9-2
untuk berbelanja di KutuKutuBuku.com
Download Internet Manager, biar download lebih cepat
Download WinRAR, pembaca RAR File

15.2.10

Ayo Kita Jalan-Jalan

Ayo kita jalan-jalan
Di jalanan ada banyak yang bisa yang kau lihat
Mungkin saja pelajaran dari kaki lima atau tukang sapu
Bukan saja dari yang berdasi atau dari ibu guru

Ayo kita jalan-jalan
walau kadang bau sampah tapi juga wangi bunga
Pikiran kan terbuka jauhi jalan buntu
Lebarkan senyummu tanda setuju

Ayo kita jalan-jalan
Memang hidup tak semudah yang kau kira
Butuh sedikit tangis tapi bukan sedih pilu
Setelah itu tetap harus tertawa

Ayo kita pulang
Jalan-jalan begitu menyegarkan


Masukkan Code ini K1-3331A9-2
untuk berbelanja di KutuKutuBuku.com
Download Internet Manager, biar download lebih cepat
Download WinRAR, pembaca RAR File

MUSUH BEBUYUTAN PENULIS PEMULA Oleh: Lindawati

Musuh jangan dicari jika datang jangan dihindari, ada saatnya melawan, ada saatnya berhenti sejenak untuk atur strategi. Manusia pun punya musuh sejati yaitu syetan laknatullah, yang akan terus ada sampai akhir masa. Bagaimana dengan manusia yang ingin menjadi penulis? Mempunyai musuhkah? Jawabnya adalah YA.

Seseorang yang ingin berkiprah dan berkecimpung dalam dunia tulis-menulis serta menyiapkan diri untuk berprofesi sebagai penulis juga mempunyai musuh. Biasanya, seorang penulis pemula selalu dihinggapi oleh musuh bebuyutannya dunia kepenulisan. Bahkan seorang Andrea Hirata, Habibirrahman el Syirazi atau Helvi Tiana Rosa sekalipun juga berangkat dari seorang penulis pemula yang kemudian dikenal dengan karya-karya mereka yang bisa membuka mata dunia.

Bagaimana dengan kita, saya dan anda, apakah akan bisa menjadi penulis sebenarnya? Bukan lagi penulis pemula. Jawabnya bisa.

Berikut ada beberapa motivasi bagi seorang penulis pemula yang diberikan oleh Jonru[i] dalam newsletter www.BelajarMenulis.com. Jonru memberikan wejangan untuk penulis pemula agar tidak mematikan motivasi menulis dan berusaha untuk terus menyalakan semangat menulis dengan cara menghilangkan semua hal yang menghalangi. Apalagi kalau bukan musuh bebuyutan calon penulis.

Ada beberapa musuh nyata dalam diri para penulis pemula yang berawal dari dalam dirinya sendiri.

1. Takut ditolak.

Setiap penulis pemula merasa selalu takut karyanya ditolak, dengan artian takut gagal. Padahal untuk menuju gerbang sukses, kita harus mampu melewati yang namanya kegagalan. Begitu banyak orang yang siap berhasil, tapi hanya sedikit yang siap untuk gagal. Patut diingat dan direnungkan, penulis-penulis yang ternama sekarang juga pernah merasakan bagaimana karyanya ditolak, so, bukan kita yang pemula saja yang merasakan.

Ditolaknya tulisan di sebuah media bukan berarti tulisan itu jelek, mungkin saja media itu tidak cocok dengan tema, dan gaya bahasa yang kita buat tetapi di media lain bisa jadi tulisan kita dimuat. Untuk mewujudkan diri menjadi penulis terkenal perlu proses. Kupu-kupu yang cantik pun perlu bermetamorfosis secara betahap untuk menjadi indah dan dikagumi banyak orang. Mengapa kita manusia sebagai ciptaan Allah yang sempuna, tidak bisa? So, don’t worry.



2. Minder

Seperti gadis ABG yang selalu bertanya, cantikkah saya? Selalu mematut diri di cermin agar yakin diri ini layak untuk dilihat orang terutama sang jejaka. Itu jugalah yang terjadi pada penulis pemula. Minder dengan kualitas naskah yang dihasilkan. Padahal jelek dan tidak bagus itu hanyalah perasan semata. Seperti wajah, tulisanpun relatif, sesuai dengan minat orang yang melihat atau membaca. Jawaban jelek atau bagus itu tergantung. Jika jelek tulisan maka koreksi yang bagus untuk kita. Ibarat wajah bisa di make over. Nah dalam tulisan pun begitu.

Biarkan semua orang atau teman-teman membaca tulisan yang telah dibuat. Semakin banyak proses perbaikan, semakin kaya pengetahun, maka tulisan menjadi lebih layak untuk kita kirim ke media. Dan untuk bertemu dengan orang-orang yang care dengan tulisan kita salah satunya bergabung dengan komunitas kepenulisan. Why not.



3. Membesar-besarkan masalah

Ini yang lebih berabe. Membesar-besarkan masalah. Maksudnya begitu banyak alasan yang menunda-nunda kita untuk bisa menjadi penulis.

Saya tidak bisa menulis karena rumah bising, saya sibuk nanti sajalah, saya tak punya komputer, saya menulis nanti saja setelah tamat sekolah.

Begitu banyaknya alasan yang membuat kita belum juga menggerakkan tangan untuk menulis meskipun ide bertebaran di kepala.

Gola Gong bertangan satu tetapi tetap produktif menulis, anggota FLP Hongkong adalah para pembantu tetapi masih bisa menulis. Mereka menulis pada saat-saat kosong mereka meskipun di kamar mandi atau saat lampu dipadamkan. Ingatlah selalu pesan Jonru berikut: Hadirkan motivasi di hati anda, maka semua masalah di atas tak ada artinya sama sekali.



4. Dikritik lalu mati

Mental. Ini yang harus disiapkan oleh seorang penulis pemula terutama yang sudah bergabung dengan komunitas penulis. Dikritik langsung mati, itulah yang sering terjadi. Orang ditembak saja tidak ada yang langsung mati. Amrozi saja harus ditembak beberapa butir peluru di jantungnya baru mati. Oups agak sedikit nyleneh. Dikritik adalah suatu hal yang biasa dalam menulis. Jika tulisan kita tidak dikritik berarti teman-teman yang menjadi pembaca tidak sayang pada kita. Karena cinta dan demi kemajuan kita itulah mereka mengkritik agar ada kemajuan terhadap karya kita selanjutnya. Don’t be afraid.



5. Tidak sabaran

Smua orang mencapai tangga atas itu selalu dari bawah. Dalam menulis, juga di mulai dari awal dan bertahap, kuncinya adalah kesabaran. Dalam setiap aktivitas apapun kita harus sabar, termasuk dalam menulis. Tidak ada segala sesuatunya yang instan. Mie instan pun dikerjakan juga bertahap, dari rebus air dulu, tidak bisa langsung jadi. Apalagi menulis. Semua kesuksesan itu perlu proses. Jika hari ini naskah ditolak bukan berarti esok harinya juga. Jika Thomas Alva Edison tidak sabar dalam percobaannya membuat lampu sampai yang ke seribu mungkin kita tidak akan terang benderang seperti ini. Take it easy, man.



6. Malas berusaha.

Semua bidang apapun akan dihinggapi penyakit “M” ini. Tidak hanya penulis saja. Kesuksesan tidak akan pernah menghampiri sang pemalas. Ingat sajalah, kalau kita malas menyuap nasi ke mulut mana mungkin nasi itu masuk. Itu hal sepele, baru tentang makan. Hal ini yang harus dihilangkan, sepersti tips yang diberikan Bang Brur (Ahmad Mabruri[ii]) pada saat saya ikut pelatihan jurnalistik, hal senada juga diutarakan Helvi Tiana Rosa juga beberapa orang penulis ternama lainnya, kunci sukses untuk menjadi penulis adalah:

1. menulis,

2. menulis, dan

3. menulis.

Mulailah menulis meskipun hanya satu paragraf setiap hari. Mulailah dengan pengalaman yang terjadi di sekitar kita, berikan pendapat-pendapat singkat dengan kalimat sederhana.

Jadi, usirlah musuh yang ada dalam diri para penulis pemula, termasuk saya, dan mungkin juga anda.

***

Penulis adalah Guru Bahasa dan Sastra Indonesia di Pesantren Terpadu Serambi Mekah Padang Panjang, juga mantan bendahara FLP Sumbar Periode 2006-2008


Masukkan Code ini K1-3331A9-2
untuk berbelanja di KutuKutuBuku.com
Download Internet Manager, biar download lebih cepat
Download WinRAR, pembaca RAR File