30.7.11

Kisah Sebuah Pensil

Melihat neneknya sedang asyik menulis Adi bertanya, "nenek sedang menulis apa?"

Mendengar pertanyaan cucunya, sang nenek berhentI menulis lalu berkata, "Adi cucuku, sebenarnya nenek sedang menulis tentang Adi. Namun ada yang lebih penting darI isi tulisan nenek inI, yaitu pensil yang sedang nenek pakai. Nenek berharap Adi dapat menjadi seperti pensil ini ketika besar nantI."

"Apa maksud nenek bahwa Adi harus dapat menjadi seperti sebuah pensil? lagipula sepertinya pensil itu biasa saja, sama seperti pensil lainnya," jawab Adi dengan bingung.

Nenek tersenyum bijak dan menjawab, "itu semua tergantung bagaimana Adi melihat pensil ini. tahukah kau, Adi, bahwa sebenarnya pensil ini mempunyai 5 kualitas yang bisa membuatmu selalu tenang dalam menjalani hidup."

"Apakah nenek bisa menjelaskan lebih detil lagi padaku?" pinta Adi

"Tentu saja Adi," jawab nenek dengan penuh kasih

"KualItas pertama, pensil dapat mengingatkanmu bahwa kau bisa melakukan hal yang hebat dalam hidup ini. Layaknya sebuah pensil ketika menulis, kau jangan pernah lupa kalau ada tangan yang selalu membimbing langkahmu dalam hidup ini. kita menyebutnya tangan Tuhan, dia akan selalu membimbing kita menurut kehendakNya".

"Kualitas kedua, dalam proses menulIs, kita kadang beberapa kali harus berhenti dan menggunakan rautan untuk menajamkan kembali pensil yang kita pakai. Rautan itu pasti akan membuat pensil menderita. tapi setelah proses meraut selesai, pensil itu akan mendapatkan ketajamannya kembalI. Begitu juga denganmu, dalam hidup ini kau harus berani menerima penderitaan dan kesusahan, karena merekalah yang akan membuatmu menjadi orang yang lebih baik".

"Kualitas ketiga, pensil selalu memberikan kita kesempatan untuk mempergunakan penghapus, untuk memperbaiki kata-kata yang salah. oleh karena itu memperbaiki kesalahan kita dalam hIdup ini, bukanlah hal yang jelek. Itu bisa membantu kita untuk tetap berada pada jalan yang benar".

"Kualitas keempat, bagian yang paling penting dari sebuah pensil bukanlah bagian luarnya, melainkan arang yang ada di dalam sebuah pensil. Oleh sebab itu, selalulah hati-hati dan menyadari hal-hal di dalam dirimu".

"Kualitas kelima, adalah sebuah pensil selalu meninggalkan tanda/goresan. Seperti juga Adi, kau harus sadar kalau apapun yang kau perbuat dalam hidup ini akan menInggalkan kesan. oleh karena itu selalulah hati-hati dan sadar terhadap semua tindakan".

"Nah, bagaImana Adi? Apakah kau mengerti apa yang nenek sampaikan?"

"Mengerti nek, Adi bangga punya nenek hebat dan bIjak sepertimu."

Begitu banyak hal dalam kehidupan kita yang ternyata mengandung filosofi kehidupan dan menyimpan nIlai-nilai yang berguna bagi kita. Semoga memberikan manfaat.


sumber

27.10.10

UANG JAPUIK


(Helat Perkawinan Pariaman “Tempo Doeloe”)

Lain lubuk lain ikannya, lain padang lain belalangnya, demikian pula adat perkawinan di banyak nagari Minangkabau ini termasuk Pariaman.
Demikian juga kalau hendak membicarakan Uang Japuik (Uang Jemputan) yang amat terkenal pada adat perkawinan di wilayah Pariaman, terlebih dahulu kita harus membahas liku-liku adat perkawinan di daerah tersebut..


“Tempo doeloe” bila suatu keluarga atau penduduk kota kecil Pariaman mempunyai seorang anak perempuan, baru saja menginjak umur tujuh tahun, ibu-bapaknya mulai berfikir untuk masa depan sang anak. Mereka mulai bersiap-siap, misalnya menyediakan benang agak setungkal, kain agak secabik. Semenjak itu mereka mulai berhemat mengencangkan ikat pinggang mengumpulkan uang untuk mendirikan sebuah rumah baru atau memperbaiki rumah mereka yang telah coyoh1).
Adalah merupakan aib bagi masyarakat Pariaman bila berhelat atau bermenantu di rumah yang coyoh. Karena itu malanglah nasib seorang perawan berorang tua miskin, sebagai dikatakan sebuah ungkapan “gadis di bawah rumah yang runtuh”.
Semenjak itu pula sang ibu-bapak mendidik anaknya mengerjakan apa saja yang bermanfaat yang berkaitan dengan urusan suatu rumah tangga, seperti masak memasak, jahit menjahit dan sebagainya, agar nanti tatkala bersuami tidak canggung lagi.

Sekolah Dan Mengaji
Ketika Pemerintah Belanda membuka sekolah di kota kecil ini, banyak pula orang tua menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah tersebut. Pagi hari bersekolah di sekolah biasa, lalu pada petang atau malam hari anak-anak itu disuruh pula belajar agama (mengaji) agar kelak menjadi orang yang saleh.
Umumnya seorang gadis di jaman dulu baru dinikahkan ketika berumur sekitar 20 tahun, namun kini (sekitar tahun 1930) bila telah berumur 15 tahun.
Setahun atau dua tahun sebelum dipersuamikan, anak perawan itu dipingit. Ia tidak diizinkan ke luar rumah seorang diri lagi. Bila ingin ke luar juga, harus ditemani oleh seorang wanita yang lebih tua dan telah bersuami.
Selama masa pingitan tersebut, ia diajar dan disuruh menjahit segala macam keperluan saat menikah kelak, misalnya membuat sarung bantal termasuk untuk kursi, taplak meja, kelambu, hiasan dinding, kain pintu, slof2) kain dan sebagainya.
Adalah menjadi kebanggaan dan kemuliaan bagi sang penganten serta ibu dan bapaknya, bila sekalian yang dipakai saat menjadi penganten kelak adalah jerih payah atau hasil usaha keringatnya sendiri, sungguhpun yang dibuatnya itu tidak sebaik yang dijual di toko-toko.
Sebaliknya merupakan aib dan menjadi gunjingan anak nagari, bilamana yang dipakai sang penganten pada hari pernikahannya itu dibeli atau diupahkan karena bapaknya mampu atau seorang hartawan.

Memilih Calon Menantu
”Pandang dekat ditukikkan, pandang jauh dilayangkan”, demikian kata sebuah peribahasa. Sebenarnya sudah sejak lama seorang yang diinginkan untuk menjadi calon suami si upik menjadi perhatian orang tua sang perawan. Lalu sebulan atau tiga bulan sebelum rencana suatu pernikahan, diadakan pertemuan antar keluarga yang dihadiri seluruh karib bait seperti ibu-bapak, ninik mamak dan lain-lain. Keluarga yang hampir dijemput, yang jauh dengan surat kiriman. Mereka diminta datang bermusyawarah untuk menentukan jodoh sang perawan.
Setelah diperoleh kata sepakat, lalu ditetapkan mengutus seseorang ke rumah orang tua sang perjaka untuk menyampaikan maksud tujuan keluarga sang perawan.
Beberapa hari kemudian, ibu-bapak, mamak dan keluarga dekat lainnya dengan membawa kampil sirih3) sebagaimana yang dilazimkan oleh adat datang ke rumah orang tua sang perjaka. Sementara itu karib bait sang perjaka telah siap pula menunggu rombongan yang datang tersebut.
Singkat kata dalam pertemuan itu ditanyakan, apakah pihak yang menunggu sudi melepas anak kemenakan mereka menjadi menantu pihak yang datang. Bilamana suka maka dibuatlah perjanjian.
Jika anak (sang perjaka) bergelar Sutan, Sidi atau Bagindo, ditanyakan berapa suka mereka menerima uang dari pihak yang datang. Sejumlah uang inilah yang disebut UANG JEMPUTAN. Banyaknya tergantung dari martabat keluarga serta profesi sang perjaka. Jika ia berniaga, makan gaji atau guru agama, tinggi uang jemputannya.
Sebaliknya jika anak itu tidak bergelar Sutan, Sidi atau Bagindo, orang yang punya rumah (pihak lelaki) memberi uang kepada pihak yang datang sebagai di atas pula.
Namun demikian ada pula pihak yang bergelar Sutan, Sidi maupun Bagindo tidak mau menerima uang tersebut walau sepeser sekali pun. Kadang-kadang malah memberi sejumlah uang kepada pihak yang datang. Tentu saja cara semacam itu dilakukan atas dasar kesepakatan kedua belah pihak atau tidak sebagaimana yang dilazimkan oleh adat. “Habis adat karena kerelaan” kata peribahasa.

Usai kesepakatan mengenai besar atau jumlah uang jemputan, pihak yang datang menyerahkan sebentuk cincin sebagai tanda sah. Kesepakatan tersebut tidak boleh diungkai lagi. Jika mungkir akan dihukum secara adat. Inilah yang dinamakan bertanda-tandaan.
Uang jemputan baru diserahkan pada saat berhelat kelak. Demikian pula cincin yang diserahkan sebagai tanda sah akan dikembalikan lagi saat berhelat.

Keterangan
Dalam Adatrecht Bundels XXXV – Sumatra, Serie H – Het Minangkabausche Gebied No. 67, halaman 315 disebutkan, di jaman dahulu Uang Jemputan terdapat di seluruh Minangkabau.
Dikatakan “Panghulu tarima ¼ bahagian uwang japutan laki anak buahnya yang jolong kawin dengan parampuan yang jolong berlaki, ia itu uang japutan itu datang dari kaum parampuan yang mau dikawini laki-laki itu” (Penghulu menerima ¼ bahagian uang jemputan laki-laki atau anak buah yang mula kawin dengan perempuan yang mula bersuami, yaitu uang jemputan itu datang dari kaum perempuan yang mau dikawini laki-laki itu).


Menentukan Hari - Berkampungan
Sebulan sebelum ditetapkan hari pernikahan, kedua belah pihak yang berkepentingan berhimpun bermusyawarah mencari hari yang baik untuk melaksanakan helat tersebut. Musyawarah dihadiri selain ibu-bapak, ninik mamak, orang tua-tua dan lain lain dari kedua belah pihak, juga oleh cerdik pandai dan orang-orang terpandang dalam nagari. Musyawarah inilah yang dinamakan bakampuangan (berkampungan – berkumpul-kumpul).
Pokok pembicaraan ialah, selain hari, tanggal dan bulan apa helat itu dijadikan (dilangsungkan), juga bentuk atau jenis helat itu sendiri. Apakah akan diadakan helat besar atau helat kecil.
Kalau yang dijadikan itu helat besar, bakajo (berkerja) namanya. Lama bakajo ini sekurang-kurangnya tiga hari tiga malam. Didirikan adat secukupnya, disembelih kerbau atau sapi serta diadakan pula permainan anak nagari seperti berebab, pencak silat dan sebagainya.
Tidak sembarang orang yang boleh mengadakan helat besar ini. Yang boleh mengadakan hanyalah urang baradat (orang beradat) dan bangsawan saja.
Helat kecil tidaklah sebesar helat besar dan tidak mendirikan adat secukupnya, sungguhpun pesta perkawinan itu dilaksanakan selama tujuh hari tujuh malam.

Jaman sekarang (sekitar tahun 1930) boleh dikatakan tidak ada lagi orang mengadakan helat besar, hanya helat kecil saja yang tidak banyak mengeluarkan biaya. Bahkan di jaman maleise (jaman serba sukar) ini sudah menjadi kebiasaan pula berkenduri, yaitu mamanggia (memanggil – mengundang) orang sepenuh rumah saja. Helat berkenduri ini biasanya diadakan dua hari dua malam, yaitu pada hari mamanggia (hari memanggil) dan hari baralek (hari berhelat).
Setelah disepakati hari, tanggal dan bulan apa helat akan dilangsungkan, ditentukan pula hari batagak pondok (mendirikan pondok) namanya, yaitu mendirikan sebuah bangsal besar yang terbuat dari bambu beratap rumbia tempat orang berkerja seperti masak memasak dsb. Biasanya bertegak pondok ini dilakukan tiga hari sebelum hari pernikahan.
Selesai musyawarah, hidangan pun ditating, maka makanlah orang yang berkampungan tersebut.

Menjelang Pernikahan
Semenjak itu yakni semenjak usai berkampungan, ibu-bapak serta kaum famili sang perawan berkerja keras mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan pernikahan yang tidak lama lagi akan dilangsungkan.
Mulai saat itu pula pihak penganten wanita atau pihak si pangkalan mamanggia berkeliling kampung, yakni menaiki setiap rumah dengan membawa kampia siriah (kampil sirih) sebagaimana yang dilazimkan oleh adat. Demikian pula kaum bapak seperti sang ayah dan para mamak berkeliling seperti di atas pula mamanggia kaum laki-laki di kampung itu. Yang hampir atau yang dekat-dekat dilakukan secara lisan, sedangkan yang jauh dikirimi surat.

Tiga hari sebelum helat dilangsungkan, orang-orang di sekitar rumah si pangkalan berdatangan membantu mendirikan pondok, sebagaimana yang disepakati pada hari berkampungan di atas. Biasanya dibuat dua pondok, masing untuk kaum laki-laki dan perempuan. Sedangkan sebelum itu, yaitu kira-kira seminggu sebelum pernikahan, selain famili, kaum ibu atau para tetangga yang berdekatan datang membantu mengerjakan apa saja yang patut mereka lakukan.
Ruang sebelah depan yang disebut langkan dihiasi dengan berbagai bunga dan sebagainya.
Demikian juga dinding ruang sebelah dalam yang disebut tepi ditutup dengan tabir berwarna putih, kuning dan merah. Dilotengnya dibentangkan selembar langit-langit, yakni semacam tabir panjangnya sekitar dua meter dan lebarnya kira-kira satu meter. Tepi langit-langit itu diberi tirai berjambut, lebarnya kira-kira sejengkal dan lebarnya sekitar tiga jari.
Di bawah langit-langit terdapat sebuah tempat tidur berkelambu kain sutra. Kelambu ini dihiasi pula dengan manik-manik dan sebagainya. Demikian juga alas kasur, sarung bantal dan guling, terbuat dari bahan sutra pula. Inilah yang dinamakan katiduran (ketiduran).
Di lantai di depan katiduran dibentangkan sebatang kasur beralaskan kain sutra yang dihiasi jahitan motif bunga serta sesusun bantal bersarung sutra bersulam pula.
Di lantai di depan kasur itu dibentangkan pula sehelai permedani dan didepannya lagi tikar-tikar yang bagus.
Ruang sebelah ke dalam yang disebut ruang tengah dihiasi pula dengan tabir, langit-langit dan tirai, akan tetapi tidak berkasur seperti di ruang tepi. Di situ didirikan dua rangka kayu setinggi tempat tidur yang letaknya berhadapan dan tidak jauh di seberang ketiduran. Kedua rangka tersebut dihubungkan dengan rangka kayu pula yang semuanya dibalut dengan kain warna-warni. Diatasnya ditempatkan tiga hiasan berangka kayu yang ditutup atau ditempel dengan aneka kertas warna-warni pula. Tinggi hiasan ini sekitar setengah meter, bentuknya seperti menara dan bundar (gobah mesjid). Inilah yang dinamakan cermin-cermin.
Di bawah cermin-cermin ini ditempatkan dua kursi beralaskan kain sutra untuk penganten duduk bersanding.
Jika yang berhelat itu urang patuik (orang patut – orang terkemuka), dibuat pula bantal gadang namanya yang ditempatkan di sebelah kanan tempat tidur di ruang tepi.
Bantal gadang ini terbuat dari rangka kayu, tingginya sekitar satu meter, panjang dan lebarnya sekitar setengah meter, dibalut dengan kain berwarna dan bagian sebelah depannya bersulam benang emas. Bagian atas bantal gadang ini ada yang dibuat runcing seperti piramida dan ada pula berbentuk atap rumah gadang Minangkabau.
Kamar anak daro (mempelai wanita) dihiasi seindah mungkin, lengkap dengan tempat tidur besi atau koi buatan Surabaya atau Inggris, berkelambu sutra indah, meja kursi, almari pakaian pakai cermin serta hiasan dinding.

Helat Perkawinan
Sehari sebelum berhelat kesibukan di rumah calon penganten wanita itu meningkat tajam dari hari-hari sebelumnya.
Semenjak pagi hari kaum ibu sibuk membantu mengerjakan apa saja yang berguna atau yang diperlukan untuk hari itu dan keesokan harinya. Demikian juga kaum bapak pihak si pangkalan.
Sedangkan malam sebelumnya diadakan permainan anak negeri. Yang biasa digelar ialah berebab dan pencak silat. Karena itu penuh sesaklah halaman si empunya hajat. Usai pergelaran, dihidangkan minuman.
Keesokan hari pada hari berhelat, berdatanganlah orang-orang yang dipanggil, baik yang jauh maupun dekat.
Tamu atau orang-orang yang datang itu menyumbang uang, kain baju, pecah belah dsb. Semua pemberian itu diserahkan kepada yang punya hajat. Inilah yang dinamakan panggilan. Sekalian mereka yang datang itu diberi makan minum secukupnya.
Hari itu pula anak daro (penganten wanita) didandani seelok-eloknya secara adat. Padanya dipakaikan baju sutra hijau locuan atau merah bersulam bermotif bunga dengan benang makau, berkain songket bersulam benang emas. Berselempang kain sutra warna merah berhiaskan motif kembang dari benang emas yang disebut tokah.
Pada kedua lengan dan jari tangan sang penganten dipakaikan gelang serta cincin berpermata. Lehernya dihiasi beberapa untaian kalung atau dokoh. Demikian juga dikeningnya seuntai dokoh berpermata pula. Sedangkan di kepala atau sanggul sang penganten tersusun tiga baris tusuk kundai. Tusuk kundai atau sunting ini ada yang terbuat dari emas dan ada pula dari perak.
Usai memakai, anak daro dituntun ke ruang tengah dan didudukan di kursi yang telah tersedia. Ia dihadapi oleh beberapa pasumandan (pesemandan – pengiring penganten) yaitu wanita-wanita muda yang telah bersuami yang berpakaian dan berdandan mirip penganten. Tak obahnya bagaikan ratu di mahligai kencana dengan dayang-dayangnya.
Induak bako yaitu sekalian famili pihak ayah sang penganten datang bersama-sama berarak-arak dengan membawa berbagai macam hadiah (kado) seperti cawan pinggan, gelas minum, tembala atau tempat cuci tangan, kain baju, slof (sandal) dan sebagainya untuk anak pisangnya (sang penganten terhadap sekalian famili ayahnya). Inilah yang dinamakan bainduak bako.
Biasanya hari perhelatan itu diramaikan pula dengan musik tradisionil atau pun musik cara barat. Namun demikian ada pula yang tidak melakukannya.

Peredaran zaman membawa pula berbagai perubahan. Misalnya, belakangan ini muncul pula pakaian penganten model baru, yaitu “pakaian penganten model Arab” yang lebih sederhana dan tidak banyak pula mengeluarkan biaya. Model pakaian Arab ini diprakasai oleh Bundo Siti Maryam, seorang guru mengaji terkemuka di kota kecil ini.
Penganten wanitanya berseluar (celana panjang) dan bagian kaki seluar sebelah bawah dihias dengan sulaman benang makau (benang sulaman emas). Bajunya model pakaian wanita bangsa Turki yang berhiaskan sulaman benang makau. Bagian kepala ditutup penuh dan dihiasi pula dengan dokoh permata.
Selain gelang, cincin, kalung, penganten mengenakan sepatu. Jadi tidak bersandal (selop) dengan biasanya.

Malam hari datang kaum laki-laki memenuhi panggilan yang punya hajat. Mereka menyumbang uang saja dan tidak makan minum. Besar sumbangan atau pemberian itu berkisar antara dua puluh lima sen dan adakalanya sampai sepuluh rupiah, tergantung hubungan mereka dengan yang punya hajat.
Singkat kata semua biaya perhelatan dilunasi oleh kaum laki-laki yang datang itu.
Berhubung serangan malaise (sekitar tahun 1930), sumbangan semacam itu tidak seperti jaman dahulu lagi.
Malam itu di ruang tepi berlangsung pula zikir rebana yang diikuti sekitar 15 hingga 20 orang.

Menjemput Penganten Pria
Malam itu pula ayah serta mamak sang penganten mengutus dua atau tiga orang laki-laki ke rumah orang tua calon marapulai (penganten pria). Mereka membawa pakaian selengkapnya termasuk sepasang sepatu, sapu tangan sutra, kampil rokok, kampil sirih serta uang jemputan.
Mereka juga membawa tungketan yaitu beberapa bentuk cincin yang diikat kain kuning. Banyak cincin tungketan tergantung tinggi rendahnya martabat kaum tersebut. Kalau orang keturunan atau bangsawan, tungketannya lima sampai tujuh bentuk cincin. Akan tetapi kalau orang biasa satu hingga tiga bentuk cincin saja.
Di rumah marapulai tidak diadakan helat seperti di rumah anak daro, hanya berkenduri saja memanggil orang sepenuh rumah dan memintakan doa selamat. Demikian pula rumah marapulai tidak dihias seperti rumah anak daro, hanya ruang tengah saja didandani. Di ruangan ini dibentangkan tabir, langit-langit, tempat tidur dan didepannya digelar tikar dan dua kursi.

Ketika utusan itu sampai di rumah ibu mempelai pria, mereka disambut oleh segenap famili fihak yang menunggu. Sembari menyerahkan sekalian bawaan, disampaikan pula bahwa mereka diutus oleh mamak dan bapak anak daro menjemput marapulai untuk dipersandingkan.
Pihak atau keluarga marapulai mengatakan persetujuannya. Lalu menyuruh si buyung yang akan menikah memakai dan berhias, yakni bersarung kain berhias benang makau, berbaju jas dan bersepatu seperti biasa. Tidak ketingalan pula sebuah arloji berantai emas dan sebentuk cincin permata.
Namun demikian ada pula marapulai memakai baju arab lengkap dengan serban atau pun pakaian jenis lainnya.
Rombongan marapulai yang diiringi sekitar dua puluh pasumandan serta pengiring lainnya berarak-arak berjalan kaki ke rumah anak daro.
Biasanya arak-arak ini diramaikan pula musik rebana atau musik gendang melayu yang disebut tumgadumbak oleh masyarakat Pariaman.
Sampai di rumah penganten wanita, rombongan besar ini disongsong oleh seorang wanita yang membawa cerana berisi sirih pinang selengkapnya.
Setelah sampai di depan tangga rumah, marapulai ditaburi dengan beras rendang dan ujung sepatunya dibasuh pula dengan air dari sebuah gelas khusus.
Kemudian marapulai didudukkan di kasur yang terbentang di ruang tepi. Sementara itu pesemandan pengiring marapulai duduk di ruang tengah berhadapan dengan penganten wanita (anak daro).
Tidak lama setelah itu nikahpun dilangsungkan oleh ayah anak daro yang disaksikan oleh pegawai mesjid berikut famili kedua belah pihak serta orang banyak.
Selesai nikah orang berzikir rebana, lalu berdiri membaca asyrakal yaitu memuji kelahiran Yang Mulia Nabi Besar Saidina Muhamad SAW dan diikuti pula oleh yang hadir termasuk marapulai. Sementara itu muncul dua orang laki-laki yang seorang membawa minyak wangi dan yang seorang lagi membawa bunga dalam sebuah nampan. Minyak wangi dipercikan kepada sekalian yang hadir dan bunga dalam nampan dibagi-bagi.
Kemudian marapulai dibawa ke (ruang) tengah didudukan di sebuah kursi sebelah kanan penganten wanita atau yang lazim disebut dipersandingkan. Tidak lama setelah dipersandingkan marapulai dibawa kembali ke (ruang) tepi.
Setelah itu makanan pun dihidangkan. Setelah makan minum marapulai dan rombongan pulang kembali ke rumah mereka.
Keesokan hari sekitar pukul lima petang, datang pula utusan menjemput marapulai untuk dibawa ke rumah anak daro. Menjemput kali ini tidak seperti kemarin lagi, cukup dengan beberapa remaja saja.
Ketika penganten pria sampai di rumah anak daro, tampak menunggu di halaman dan di jalan raya di depan rumah itu berderet-deret auto (mobil) dan dos (sado, bendi).
Mempelai disungguhkan makan di ruang tepi juga. Sementara sang penganten makan, mobil dan sado yang disediakan mulai dipenuhi oleh pesemandan dan mereka-mereka yang ikut mengantarkan rombongan anak daro dan marapulai berarak-arak berkeliling kota menuju rumah orang tua sang marapulai. Pai manjalang (pergi menjelang) kata orang Pariaman.
Tentu saja beberapa nampan atau baki penuh berisi kueh-kueh seperti kueh lapis, kueh ruok, kueh bolu, agar-agar dan sebagainya dibawa pula.
Selain nampan-nampan di atas, ada lagi dua baki talam loyang yang ditutup dengan sejenis tudung saji yang disungkup dengan dalamak (delamak). Baki atau nampan pertama berisi kueh gatas, kueh sapik, kueh ripit dan lain-lain, sedangkan nampan yang kedua berisi makanan tradisi yaitu nasi kunyit singgang ayam.
Ketika sampai di rumah orang marapulai, rombongan arak-arakan itu disongsong dengan sebuah cerana yang berisi sirih pinang selengkapnya, ditaburi dengan beras rendang dan dibasuh pula anak jenjang yang akan diinjaknya dengan air dari dalam sebuah galeta yang semula terletak di atas sebuah talam.
Anak daro didudukkan di atas sebuah kursi di depan tempat tidur, sedangkan pesemandan yang banyak itu duduk bersimpuh menghadap ke arah penganten itu. Makanpun disajikan, maka makanlah orang banyak itu.
Selesai makan minum, kedua mempelai dipersandingkan sekali lagi. Setelah itu anak daro bersalaman dengan mertua serta kaum famili sang marapulai. Setiap yang bersalaman dengan sang penganten menyelipkan uang paling kurang sebanyak serupiah.
Disamping itu ibu mertua memberi pula perhiasan emas serta kain baju yang dibeli dari uang penjemput anaknya. Misalnya jika uang penjemput anak f 60., dibelikan barang sekitar f 40. atau f 50. Sisanya untuk penanti tamu yang datang tersebut.
Sambil berpegangan tangan kedua penganten itu bersama pengiringnya pulang kembali ke rumah orang tua anak daro.
Sampai di rumah papan coki atau catur sudah dipersiapkan orang pula. Maka main caturlah kedua penganten baru ini ditontoni orang banyak. Manakala dalam permainan itu sang marapulai dapat merebut cincin di jari anak daro, orang banyak yang menonton bersorak dan bertepuk tangan. Maka permainan pun usailah.
Malam itulah marapulai menginap buat pertama kalinya di rumah anak daro.
Pulang beriring-iring dan main catur itu menurut kesukaan pihak mempelai saja. Yang tidak suka tidak diadakan acara iring-iringan dan juga main coki tersebut.

Ketika almarhum Syekh Muhammad Jamil Al-Khalidi mempersuamikan anaknya, beliau mencoba menyederhanakan helat pernikahan tersebut, demi ongkos dan situasi malaise yang terjadi masa itu.
Pukul tujuh malam marapulai dijemput. Pai Manjalang dilakukan dengan arak-arakan tanpa memakai kendaraan. Pada arak-arakan itu mengiring pula sejumlah laki-laki sembari menyanyikan lagu-lagu khasidah.
Ada pula beliau mengarak marapulai saja berkeliling kota dengan mobil yang diiringi beberapa sado. Namun pai manjalang dilakukan dengan berjalan kaki dengan pesemandan yang banyak.

Memakaikan Adat Selengkapnya
Sekalian yang disebutkan di atas, yakni semenjak malam memanggil sampai “pergi menjelang” itulah kebanyakan yang dilakukan orang dan belum memakaikan adat secukupnya.
Berikut disampaikan bagaimana perhelatan itu dilakukan dengan memakaikan adat selengkapnya.
Pada malam memanggil itu, lima atau tujuh pesemandan dari pihak anak dara pergi ke rumah calon mempelai membawa inai (suatu perarakan dan perjamuan waktu mempelai berinai).
Ketika rombongan itu sampai di rumah mempelai pria, marapulai pun duduk di kursi dan sudah memakai Roki (sejenis baju laki-laki langgam Eropah), yaitu berseluar beludru bertabur warna emas dan perak, lengan dan lehernya memakai renda dari benang makaf, memakai ikat pinggang perak. Tersisip pula dipinggangnya keris Minangkabau bersarung perak. Dikepalanya bertengger sebuah saluak. Di atas saluak itu bertengger pula sebuah hiasan terbuat dari kayu bergelung berpalut warna emas dan pada kayu bergelung ini beruntaian pula bunga melati.
Pesemandan yang datang membawa inai disambut sepatutnya oleh pihak yang punya rumah. Setelah duduk, salah seorang pesemandan itu mengabarkan, bahwa kedatangan mereka ialah hendak menginai mempelai. Melekatkan inai yaitu di kuku kaki mempelai diserahkan sepenuhnya kepada kaum famili mempelai.
Setelah inai dilekatkan, makanan dan minuman disajikan orang. Usai makan minum rombongan pesemandan itu kembali pulang.
Pesemandan marapulai sebanyak lima atau tujuh orang pergi pula ke rumah anak daro. Sementara itu anak daro sudah siap pula memakai-makai (berhias) dan duduk di kursi.
Rombongan yang datang itu mengabarkan bahwa kedatangan mereka ialah hendak menginai anak daro. Maka anak daro diinailah.
Padahal sebelum inai dilekatkan, anak daro sudah berinai juga, yaitu kuku tangan dan ditengah-tengah telapak tangan juga kuku kaki dan sekeliling tepi kakinya.
Setelah inai dilekatkan oleh pesemandan tadi, hidangan pun disajikan orang pula.

Kebanyakan pada malam perhelatan, marapulai belum dijemput, barulah keesokan hari sesudah waktu Lohor dan sekalian menjelang.
Sekitar pukul dua siang marapulai turun dan dinaungi payung gadang yang diselimuti dengan kain sitiga warna, yaitu putih, kuning dan merah serta dilengkapi pula dengan adat kebesaran seperti pedang, bedil, bendera kuning, tombak jangguik janggi, tongkat dan gong yang dibunyikan sepanjang jalan yang dilalui serta musik yang mengiringi. Pada arak-arakan itu marapulai diiringi tidak kurang sepuluh orang pesemandan.
Arak-arakan ke rumah anak daro ini dilakukan dengan berjalan kaki saja dan tidak berkendaraan.
Tatkala sampai di rumah penganten wanita, mereka disongsong dengan cerana dan ditaburi pula dengan beras rendang dan ujung sepatunya dicuci pula dengan air yang disediakan khusus untuk itu.
Sementara itu anak daro yang telah didandani didudukan di kursi di depan tempat tidur yang dihadapi pula oleh para pesemandan.
Marapulai didudukan pula di kursi di sebelah kanan anak daro. Sedangkan di depan pasangan yang bersanding ini dihadapi pula oleh semua pesemandan.
Tidak lama setelah itu dua talam loyang beralaskan daun pisang diletakkan di tengah-tengah di depan kedua penganten itu.
Kedua penganten itu dituntun berdiri ke dalam masing-masing talam. Lalu seorang ibu-ibu yang membawa air dalam galeta memercikan sedikit air ke kening kedua penganten. Inilah yang dinamakan Memandikan Penganten.
Selesai memercikan air, secara bergantian kedua penganten dilecut lambat-lambat sekujur tubuhnya dengan lidi kelapa berkarang. Yang mula-mula dilecut ialah anak daro, setelah itu marapulai.
Selesai upacara tersebut, makanan pun disajikan orang. Sementara itu sado dan mobil bersiap-siap pula di halaman dan di jalan raya di depan rumah penganten itu.
Selesai bersantap, penganten naik ke mobil yang disediakan seperti disebutkan di atas.
Sebuah payung besar diikatkan pada mobil itu dengan maksud melindungi kedua penganten tersebut. Demikian juga para pesemandan serta rombongan lainnya naik pula ke dalam kendaraan yang disediakan untuk mereka. Mereka berarak-arak berkeliling kota menuju rumah ibu penganten pria.
Tiba di rumah yang dituju, mereka bersanding lagi dan seterusnya makan minum pula. Selesai makan minum, sembari berbimbingan tangan anak daro dan marapulai naik kembali ke mobil pulang ke rumah anak daro untuk bermain coki seperti yang telah diuraikan di atas.
Famili marapulai meminta agar anak daro berkunjung pula ke rumah mereka. Inilah yang dinamakan Mendua dan terus Meniga Hari namanya.
Keesokan hari dengan diiringi lima sampai tujuh pesemandan serta pengiring lain, pasangan itu berkunjung ke rumah ibu marapulai. Jika dekat dengan berjalan kaki saja, kalau jauh dengan kendaraan. Pada kunjungan ini pihak anak daro membawa sedulang nasi kunyit singgang ayam serta kueh wajik saja. Demikian pula bawaan untuk setiap rumah keluarga marapulai yang dijelang.
Setiap manjalang atau berkunjung ke rumah famili penganten pria, pihak yang punya rumah telah bersiap pula dengan makanan dan minuman penanti penganten baru tersebut, termasuk pula oleh-oleh berupa kain baju maupun uang kepada sang anak daro.
Berturut-turut selama sepekan sang suami pulang siang ke rumah isterinya untuk makan siang dan sholat lohor. Ditukari sarung yang dipakainya dengan kain sarung yang disediakan di rumah istrinya itu.
Demikian pula anak daro yang baru menikah ini, dalam minggu pertama masa bulan madu ini senantiasa berpakaian yang indah-indah.

Ketika bulan Ramadhan atau bulan puasa, sehari sebelum mulai puasa telah datang kiriman dari rumah anak daro ke rumah marapulai sebuah nampan penuh berisi bunga-bunga dengan air asahan yang harum dalam sebuah gelas khusus serta sabun mandi bermerek Capitol atau Kolederma untuk dipakai oleh marapulai baru tersebut. Inilah yang dinamakan Mengantar Limau Puasa.

Tanggal enam belas Ramadhan ke bawah, ibu si perempuan yang baru menikah telah siap pula mengantar kueh-kueh sebanyak lima tempat. Selain itu ada pula sebotol minyak wangi yang diletakkan dalam wadah beras. Antaran ini dilengkapi dengan alat kebesaran seperti payung gadang, pedang, tombak, bedil, tongkat janggut janggi dan gong. Orang yang memakai adat ini ialah para bangsawan seperti Sidi, Sutan dan Bagindo.
Akan tetapi jika mereka tidak bergelar Sidi, Sutan dan Bagindo, tidak memakai payung gadang, hanya memakai payung biasa yang ditutup dengan kain dan bukan kain tiga warna seperti dikatakan di atas dan juga tidak memakaikan adat secukupnya, kecuali gong.
Hal ini dinamakan berfitrah.
Berfitrah dan mengantarkan limau ini bukan setiap bulan Ramadhan, hanya sekali saja.

Di awal bulan Syawal, yaitu pada Hari Raya Idulfitri, sejak usai Sembahyang Hari Raya, sang penganten baru membawa teman-temannya makan-makan ke rumah istrinya.
Malam harinya kedua orang yang baru menikah itu berkunjung berlebaran ke rumah famili suaminya yang pernah dijelangnya ketika baru menikah dulu, yaitu ketika mendua dan meniga.
Famili mempelai yang dikunjungi membekalinya dengan uang atau kain baru.
Jika ada keluarga dari pihak suaminya yang sakit, maka sang istri menjenguknya dengan membawa berbagai makanan.
Demikian pula setiap bulan Ramadhan wajib pula ibu sang istri mengantarkan pebukaan ke rumah mertua anaknya, akan tetapi ke rumah famili menantunya yang lain, tidak. Cara ini dinamakan mengantar pebukaan.

Kalau yang bersuami itu seorang janda, maka perkawinan itu tidak dengan perhelatan besar, melainkan cukup dengan kenduri saja dengan mengundang orang sepenuh rumah dan membacakan doa selamat. Tetapi harus manjalang dan mengantarkan fitrah dan pebukaan ke rumah mertuanya.

Keterangan.
1) Coyoh – lapuk.
2) Slof – sandal.
3) Kampil sirih – tempat atau tas sirih yang terbuat dari mensiang.
4) Sebagai meter kubik – berbentuk balok.
‘Riwajat Kota Pariaman”
door : Bagindo Said Zakaria – Pariaman, 1932.
Disalin dan disadur dari Mikrofilm No. 1157/PN,
Oleh: Anas Nafis.

14.9.10

Menu Makan Malam

Cerpen Kadek Sonia Piscayanti

Sesuatu yang kelak retak dan kita membikinnya abadiIbu bersumpah untuk membangun keluarganya di atas meja makan. Ia terobsesi mewujudkan keluarga yang bahagia melalui media makan bersama. Maka, ia menghabiskan hidupnya di dapur, memasak beribu-ribu bahkan berjuta-juta menu makanan hanya untuk menghidangkan menu masakan yang berbeda-beda setiap harinya. Ia memiliki jutaan daftar menu makan malam di lemari dapurnya. Daftar itu tersusun rapi di dalam sebuah buku folio usang setebal dua kali lipat kamus besar Bahasa Indonesia, berurut dari menu masakan berawal dengan huruf A hingga Z. Ia menyusun sendiri kamus itu sejak usia perkawinannya satu hari hingga kini menginjak usia 25 tahun. Di sebelah kamus resep masakan itu, bertumpuk-tumpuk pula resep masakan dari daerah Jawa, Madura, Padang, bahkan masakan China. Belum lagi kliping resep masakan dari tabloid-tabloid wanita yang setebal kamus Oxford Advanced Learner.

Isi kepala Ibu memang berbeda dengan ibu lain. Dalam kepalanya seolah hanya ada tiga kata, menu makan malam. Setiap detik, setiap helaan napasnya, pikirannya adalah menu-menu masakan untuk makan malam saja. Makan malam itulah ritual resmi yang secara tersirat dibikinnya dan dibuatnya tetap lestari hingga saat ini. Meskipun, ketiga anaknya telah beranjak dewasa, ia tak pernah surut mempersiapkan makan malam sedemikian rupa sama seperti ketika ia melakukannya pertama, sejak usia pernikahannya masih satu hari.

Keluarga ini tumbuh bersama di meja makan. Mereka telah akrab dengan kebiasaan bercerita di meja makan sambil menikmati menu-menu masakan Ibu. Mereka berbicara tentang apa saja di meja makan. Mereka duduk bersama dan saling mendengarkan cerita masing-masing. Tak peduli apakah peristiwa-peristiwa itu nyambung atau tidak, penting bagi yang lain atau tidak, pokoknya bercerita. Yang lain boleh menanggapi, memberi komentar atau menyuruh diam kalau tak menarik. Muka-muka kusut, tertekan, banyak masalah, stres, depresi, marah, kecewa, terpukul, putus asa, cemas, dan sebagainya, bisa ditangkap dari suasana di atas meja makan. Sebaliknya muka-muka ceria, riang, berseri, berbunga-bunga, jatuh cinta, juga bisa diprediksi dari ritual makan bersama ini. Ibu yang paling tahu semuanya.

Ia memang punya kepentingan terhadap keajegan tradisi makan bersama ini. Satu kepentingan saja dalam hidupnya, memastikan semua anggota keluarganya dalam keadaan yang ia harapkan. Bagi Ibu, sehari saja ritual ini dilewatkan, ia akan kehilangan momen untuk mengetahui masalah keluarganya. Tak ada yang bisa disembunyikan dari momen kebersamaan ini. Dan kehilangan momen itu ia rasakan seperti kegagalan hidup yang menakutkan. Ia tak mau itu terjadi dan ia berusaha keras untuk membuat itu tak terjadi.

Ia tak berani membayangkan kehilangan momen itu. Sungguh pun tahu, ia pasti menghadapinya suatu saat nanti, ia merasa takkan pernah benar-benar siap untuk itu. Yang agak melegakan, semua anggota keluarganya telah terbiasa dengan tradisi itu dan mereka seolah menyadari bahwa Ibu mereka memerlukan sebuah suasana untuk menjadikannya "ada". Semua orang tahu dan memakluminya. Maka semua orang berusaha membuatnya merasa "ada" dengan mengikuti ritual itu. Namun, kadang beberapa dari mereka menganggap tradisi ini membosankan.***Jam empat pagi. Ibu telah memasak di dapur. Ia menyiapkan sarapan dengan sangat serius. Ibu tak pernah menganggap memasak adalah kegiatan remeh. Ia tak pernah percaya bahwa seorang istri yang tak pernah memasak untuk keluarganya adalah seorang Ibu yang baik. Jika ada yang meremehkan pekerjaan memasak, Ibu akan menangkisnya dengan satu argumen: masakan yang diberkahi Tuhan adalah masakan yang lahir dari tangan seorang Ibu yang menghadirkan cinta dan kasih sayangnya pada setiap zat rasa masakan yang dibikinnya. Ibu meyakini bahwa makanan adalah bahasa cinta seorang Ibu kepada keluarganya, seperti jembatan yang menghubungkan batin antarmanusia. Sampai di sini, anak-anaknya akan berhenti mendengar penjelasan yang sudah mereka hapal di luar kepala. Ibu takkan berhenti bicara kalau kedamaiannya diusik. Dan yang bisa menghentikannya hanya dirinya sendiri.

Sarapan tiba. Ibu menyiapkan sarapan di dapur. Ia menyiapkan menu sesuai dengan yang tertera di daftar menu di lemari makanan. Telur dadar, sayur hijau dan sambal kecap. Ada lima orang di keluarganya. Semua orang memiliki selera berbeda-beda. Suaminya suka telur yang tak matang benar, agak asin, tanpa cabe. Aries suka telur yang benar-benar tergoreng kering, dan harus pedas. Pisca, suka makanan serba manis. Telur dadarnya harus setengah matang dengan kecap manis dan sedikit vitsin. Sedangkan Canestra, tak suka pada kuning telur. Sebelum didadar, kuning telur harus dipisahkan dulu dari putihnya. Jika tidak dibuatkan yang sesuai dengan pesanannya, ia bisa mogok makan. Berhari-hari.

Bagaimana dengan Ibu? Ibu bahkan tak pernah macam-macam. Telur dadarnya adalah yang standar, tidak ada perlakuan khusus. Ia boleh makan apa saja, yang penting makan, jadilah.

Pukul 07.05. Telur dadar setengah matang asin, telur dadar pedas, telur manis dengan vitsin, dan telur tanpa kuning, berikut sayur hijau dan sambal kecap telah terhidang. Semua telah menghadapi hidangan masing-masing sesuai pesanan. Makan pagi biasanya tak ada yang terlalu banyak bicara. Semua sibuk dengan rencana masing-masing di kepalanya. Kelihatannya, tak ada yang ingin berbagi. Aries kini sudah bekerja di sebuah kantor pemerintah, menjadi tenaga honor daerah. Ia harus tiba di kantor setidaknya pada tujuh dua lima, karena ada apel setiap tujuh tigapuluh. Pisca harus ke kampus. Ia duduk di semester tujuh kini. Tampaknya sedang tak bisa diganggu oleh siapa pun. Wajahnya menunjukkan demikian. Mungkin akan bertemu dengan dosen pembimbing atau entah apa, tapi mukanya keruh. Mungkin banyak persoalan, tapi Ibu cuma bisa memandang saja. Sedang Canestra masih di SMA. Ia tampak paling santai. Tangannya memegang komik. Komik Jepang. Makan sambil membaca adalah kebiasaannya. Sang Bapak, duduk diam sambil mengunyah makanan tanpa bersuara dan tanpa menoleh pada yang lain. Pria yang berhenti bekerja beberapa tahun lalu itu tampak lambat menyelesaikan makannya. Ia menikmati masakan itu, atau tidak peduli? Tak ada yang tahu.

Satu per satu mereka meninggalkan ruang makan. Hanya piring-piring kotor yang tersisa di meja makan. Ibu membawanya ke dapur, mencuci piring-piring itu sampai bersih dan mengelap meja makan. Ritual berikutnya adalah menyerahkan anggaran belanja ke pasar hari itu kepada suaminya. Saat-saat inilah yang paling ia benci seumur hidupnya. Ia benci menerima uang dari suaminya yang selalu tampak tak rela dan tak percaya.

Akhirnya, memang bahan-bahan menu itu dipangkas seenak udelnya, ia tak mau tahu apa pun. Ujung-ujungnya ia cuma memberi sepuluh ribu saja untuk semua itu. Tentu saja kurang dari anggaran yang seharusnya, dua puluh ribu. Untuk itu semua, maka otomatis menu berubah; tak ada ayam bumbu rujak, tak ada capcay, yang ada tinggal perkedel jagung dan tempe. Sayur hijau, katanya, bolehlah. Yang penting sayur, dan murah. Ah…

Ibu berjalan ke pasar dengan gontai. Hari itu Jumat. Hari pendek. Anak-anak akan pulang lebih cepat dari biasa. Ia mempercepat langkahnya. Tak mudah membagi waktu, kadang pekerjaan teramat banyaknya sampai-sampai tak ada waktu untuk melakukan hal lain selain urusan dapur. Kadang ia berpikir ada sesuatu yang memang penting untuk dilakukan tapi itu akan mengabaikan urusan dapur dan itu berarti pula mengabaikan selera anak-anaknya. Itu tidak mungkin. Tak ada yang mengerti selera anak-anaknya kecuali dia.

Tapi kadang ia bosan berurusan dengan menu-menu. Ia telah mencoba semua menu yang ada di buku-buku masakan, ia telah mencoba semua resep masakan di teve, dan ia kehabisan ide suatu ketika. Ia mencatat menu-menu yang sudah pernah dibikinnya. Serba-serbi sambal: sambal goreng krecek, sambal goreng hati, sambal godog, sambal kentang, sambal bawang, sambal kecicang, sambal serai, dll. Aneka ca, semacam: ca sawi, ca kangkung, ca bayam, ca tauge, ca bunga kol, dll. Semua jenis perkedel dan gorengan kering: perkedel ketimun, perkedel kentang, perkedel jagung, pastel kentang, kroket kentang, dan seterusnya. Sampai makanan golongan menengah dilihat dari mahalnya bahan pokok semacam: babi kecap, gulai kare ayam, gulai udang, sate bumbu rujak, opor ayam, sup kaki ayam dengan jamur tiongkok, dendeng sapi, kepiting goreng. Juga serba-serbi makanan China semacam: shiobak, koloke, fuyung hai, ang sio hie, hao mie, tao mie, dan seterusnya. Daftar ini masih akan bertambah panjang kalau disebutkan serba-serbi pepes, serba-serbi urap, atau serba-serbi ikan.

Semua menu sudah dicobanya habis tak bersisa, tapi sepertinya masih saja ada sesuatu yang kurang. Ia pun lebih kerap berkreasi, satu menu masakan kadang-kadang dipadu dengan menu masakan lain, misalnya pepes tempe, gulai pakis, sate tahu, dan sebagainya. Tapi masih saja menu-menu itu terasa tak cukup untuk membuat variasi menu yang berbeda setiap harinya. Karena itulah yang akan membuat keluarganya betah dan merindukan makan malam.

Ia pernah merasa ingin berhenti saja memikirkan menu-menu itu, tapi suaminya akan berkata, "Kau telah memilih menjadi perempuan biasa-biasa saja, tidak bekerja dan melayani keluarga. Bahkan kau bersumpah akan membangun keluarga di atas meja makan, kenapa tidak kau pikirkan sebelumnya?"

Ibu merenungkan kata-kata suaminya. Ada yang salah terhadap penilaian-penilaian. Ada yang tak adil di dalamnya. Hampir selalu, yang menjadi korban adalah mereka yang dinilai, mereka yang tertuduh, mereka yang melakukan sesuatu tapi dinilai salah dan dianggap biasa-biasa saja. Tapi apa sesungguhnya yang terjadi dengan biasa dan tak biasa? Apa yang menentukan yang biasa dan yang tak biasa? Menjadi Ibu adalah sangat luar luar luar biasa. Apakah seorang ibu rumah tangga yang mencurahkan seluruh hidupnya untuk keluarga lebih biasa daripada seorang ibu yang tak pernah sekalipun berpikir tentang keluarganya, meski ia punya tujuh perusahaan dan kaya raya? Lagipula, itu cuma perasaan, bukan angka-angka dalam matematika, namanya juga perasaan. Tercium bau hangus. Ibu tersentak dari lamunannya. Tempenya gosong.

Ia menyudahi goreng-menggoreng tempe itu. Lalu dengan bergegas ia menyambar sekeranjang cucian kotor, mulai mencuci. Anaknya datang satu per satu. Ibu belum selesai mencuci. Ia agak tergesa karena harus menyiapkan makan siang untuk anak-anaknya. Setelah menyiapkan makan siang, ia kembali bekerja, menyelesaikan cucian.

Makan siang Ibu adalah jam 3 sore. Setelah itu, ia tidur dua jam. Sehabis jam 5 sore, sehabis tidur siangnya, ia harus menyiapkan makan malam. Sehabis makan malam, jangan kira ia selesai. Ada Bapak yang setiap hari minta dipijit, tapi setiap hari mengeluh pijitan Ibu tak pernah mengalami kemajuan. Ah…

Dia melakukannya selama sisa hidupnya. Ia berkutat dengan semua itu selama puluhan tahun, tak pernah ada yang memujinya, dan ia pun tak ingin dipuji, tapi itukah yang disebut perempuan biasa?

Suatu ketika, sebuah peristiwa datang mengusik keluarga itu.Hari itu Selasa, ketika sebuah perubahan memperkenalkan dirinya kepada keluarga itu. Aries menolak makan bersama. Ia tentu punya alasan di balik aksi mogoknya. Tapi tak ada yang tahu apa alasan Aries.

Ibu kecewa. Menu makan malamnya tak dicicipi selama tiga hari berturut-turut. Ini adalah beban mental bagi seorang Ibu. Ia bukanlah orang yang suka memaksa, tapi selalu membaca dari tanda-tanda dan suka juga menebak-nebak. Sialnya, Aries tak pernah memiliki cukup waktu untuk menjelaskan semua itu. Ia tampak begitu sibuk. Kadang ia bahkan terlihat menyibukkan diri, menghindar dari Ibu. Ia menomorduakan ritual makan malam mereka. Ibu menangis, ia merasa segala usahanya untuk membangun tradisi makan malam ini sia-sia saja. Salahkah jika ia berusaha membikin sesuatu yang kelak retak menjadi abadi? Mungkin memang salah, tapi dulu tak seorang pun cukup berani menunjukkan di mana letak salahnya, tak seorang pun tega mengecewakan Ibu. Tapi Aries, kini telah membuatnya kecewa secara nyata.

Suasana menjadi semakin keruh ketika di hari kelima, keenam dan ketujuh, Aries juga absen makan malam.Ibu bertindak. Ia masuk ke kamar si sulung, lalu, mungkin, bicara di sana. Pisca dan Canestra duduk di depan tivi, tidak mendengar apa-apa.

Satu jam kemudian, Ibu keluar dengan wajah murung, tapi dibikin agar kelihatan berseri. Ia tampak aneh."Aku tahu selama ini kita tak pernah jujur dengan makan malam itu. Satu-satunya yang jujur hanya dia. Kita semua sudah bosan, ya kan? Ibu juga. Dan mulai saat ini, tidak ada lagi kebohongan apa pun. Tinggalkan saja jika kalian memang tak setuju. Ibu juga sudah lelah memikirkan menu-menu makan malam untuk kalian. Ibu ingin merasa tidak perlu menyiapkannya untuk kalian. Ibu akan mencoba. Selamat bersenang-senang!"

Ibu terlihat enteng menyelesaikan persoalannya. Bapak menyusul Ibu ke kamar. Mudah-mudahan mereka bercinta. Ah ya mereka sepertinya tak pernah bercinta lagi sejak beberapa tahun ini. Padahal itu perlu, terutama bagi Ibu yang lelah luar biasa. Fisik dan jiwa.

Pisca menyelinap masuk ke kamar Aries, meninggalkan Canestra yang masih asyik nonton tivi. Ia sungguh ingin tahu, apa yang dibicarakan Ibu dan Aries, sehingga Ibu keluar dengan wajah aneh, murung tapi dipaksakan berseri. Pisca bertanya, "Ada apa?" Aries tak menjawab, namun tiba-tiba menangis dan menenggelamkan wajahnya di bawah bantal. Dengan sesenggukan, ia berkata, "Untuk apa lagi mempertahankan sebuah kepalsuan di depan Ibu? Salah satu dari kita semua telah mengkhianati Ibu, untuk apa lagi semua ini dipertahankan?"

Pisca menangkap ucapan kakaknya dengan jelas, namun ia tak mengerti, dan tak ingin mengerti, karena semua itu terlalu menyedihkan baginya. Apalagi yang lebih menyedihkan ketika tahu seseorang telah berkhianat kepada Ibu? Siapa pun dia, Pisca tak ingin tahu. Ia tak ingin mendendam, apalagi terhadap keluarganya sendiri. Tapi, bukankah Ibu selalu tahu apa yang terjadi? Semua pertanyaan bertumpuk-tumpuk di kepalanya.

Sesuatu yang kelak retak, yang Ibu pernah berusaha membikinnya abadi, kini sudah benar-benar retak berkeping-keping dan tak mungkin disatukan lagi. Sejak saat itu, makan malam bersama tidak rutin lagi bagi mereka. Hanya Ibu yang masih betah di sana. Sesekali Pisca atau Canestra mendampinginya. Mungkin tiba saat ketika ia benar-benar rindu makan malam bersama.

Sialnya, Bapak benar-benar tak memahami persoalan dengan baik. Ia sok bijak dan pandai. Kata-katanya sungguh tak tepat untuk menggambarkan seluruh keadaan ini.

"Benar kan, Ibumu memang perempuan biasa-biasa saja. Ia bahkan menganggap hal remeh ini sebagai kiamat dalam hidupnya!"Pisca meradang. Ia merasa Bapak yang sombong itu harus dihentikan.

"Apa yang biasa? Apa yang tak biasa? Bapak juga laki-laki biasa, yang tak bisa seperti Ibu. Bapak jauh lebih biasa dari Ibu. Ibu, setidaknya berusaha membikin tradisi agar kita tahu arti kebersamaan sekalipun di atas meja makan. Tapi lihatlah Bapak yang hanya suka mengejek tapi tak pernah melakukan apa pun, bahkan tak pernah berusaha melakukan apa pun!"

Bapak diam. Dia kelihatan tersinggung. Tapi Pisca suka dan puas membuatnya tersinggung. Pisca memutuskan untuk menemui Ibu. Ibu menyambutnya dengan senyum. Ia tahu Pisca akan berbicara soal Bapak, soal biasa dan tak biasa. Ibu mencegahnya bicara lebih dulu, "Begini. Bapak benar soal Ibu yang biasa-biasa saja. Ini sudah seharusnya. Ibu menerima semua itu, bukan karena Ibu pasrah tapi Ibu mengerti betul kalian semua dan juga persoalan ini. Ibu memang perempuan biasa, tak ingin menjadi yang tak biasa. Ibu mencintai Bapak, kalian semua. Ibu tak bisa memberi uang, maka Ibu cuma memberi kemampuan Ibu memasak, itu pun jika kalian mau menikmatinya."

"Tapi Bu, ini penghinaan. Masalah makan malam itu bukan masalah sekadar, bukan masalah remeh temeh. Sebesar itu usaha Ibu membangun tradisi kebersamaan di keluarga kita, tapi Bapak bahkan menganggapnya tak ada. Kita belajar satu sama lain di meja makan itu, kita memutuskan hidup kita di atas meja makan itu, dan ingat, ketika Bapak berhenti bekerja di kantor karena penyelewengan dana yang sangat memalukan itu, yang menolong Bapak adalah kita, juga di atas meja makan itu."

"Bapak kini sedang merasa kesepian, ia kehilangan saat-saat terbaiknya, itu hal tersulit yang pernah ditemuinya. Kita harus memahami itu."

Dari beranda, Bapak mendengar semua percakapan itu. Ia berpikir bahwa istrinya memang baik, pengertian dan sabar, tapi sungguh ia sangat biasa, dan yang terpenting, tak menggairahkan. ***Singaraja, 8 November 2005

Peradilan Rakyat

Seorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang pengacara senior yang sangat dihormati oleh para penegak hukum.

"Tapi aku datang tidak sebagai putramu," kata pengacara muda itu, "aku datang ke mari sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan keadilan di negeri yang sedang kacau ini."

Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia menatap putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung.

"Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?"Pengacara muda tertegun. "Ayahanda bertanya kepadaku?""Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujungtombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini."Pengacara muda itu tersenyum."Baik, kalau begitu, Anda mengerti maksudku."

"Tentu saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani, kalau perlu kurang ajar. Aku pisahkan antara urusan keluarga dan kepentingan pribadi dengan perjuangan penegakan keadilan. Tidak seperti para pengacara sekarang yang kebanyakan berdagang. Bahkan tidak seperti para elit dan cendekiawan yang cemerlang ketika masih di luar kekuasaan, namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan untuk menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu diberhalakannya. Kamu pasti tidak terlalu jauh dari keadaanku waktu masih muda. Kamu sudah membaca riwayat hidupku yang belum lama ini ditulis di sebuah kampus di luar negeri bukan? Mereka menyebutku Singa Lapar. Aku memang tidak pernah berhenti memburu pencuri-pencuri keadilan yang bersarang di lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat. Merekalah yang sudah membuat kejahatan menjadi budaya di negeri ini. Kamu bisa banyak belajar dari buku itu."

Pengacara muda itu tersenyum. Ia mengangkat dagunya, mencoba memandang pejuang keadilan yang kini seperti macan ompong itu, meskipun sisa-sisa keperkasaannya masih terasa.

"Aku tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan seluruh sejarah Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan bebas dari kritik. Aku punya sederetan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah Anda lakukan. Dan aku terlalu kecil untuk menentang bahkan juga terlalu tak pantas untuk memujimu. Anda sudah tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena kau bukan hanya penegak keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil dan sempurna, tetapi kau juga adalah keadilan itu sendiri."

Pengacara tua itu meringis."Aku suka kau menyebut dirimu aku dan memanggilku kau. Berarti kita bisa bicara sungguh-sungguh sebagai profesional, Pemburu Keadilan.""Itu semua juga tidak lepas dari hasil gemblenganmu yang tidak kenal ampun!"Pengacara tua itu tertawa."Kau sudah mulai lagi dengan puji-pujianmu!" potong pengacara tua.Pengacara muda terkejut. Ia tersadar pada kekeliruannya lalu minta maaf.

"Tidak apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu katakan," sambung pengacara tua menenangkan, sembari mengangkat tangan, menikmati juga pujian itu, "jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri dengan diskripsi-diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam, karena kamu sangat diperlukan oleh bangsamu ini."

Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu ia meneruskan ucapannya dengan lebih tenang.

"Aku datang kemari ingin mendengar suaramu. Aku mau berdialog.""Baik. Mulailah. Berbicaralah sebebas-bebasnya."

"Terima kasih. Begini. Belum lama ini negara menugaskan aku untuk membela seorang penjahat besar, yang sepantasnya mendapat hukuman mati. Pihak keluarga pun datang dengan gembira ke rumahku untuk mengungkapkan kebahagiannya, bahwa pada akhirnya negara cukup adil, karena memberikan seorang pembela kelas satu untuk mereka. Tetapi aku tolak mentah-mentah. Kenapa? Karena aku yakin, negara tidak benar-benar menugaskan aku untuk membelanya. Negara hanya ingin mempertunjukkan sebuah teater spektakuler, bahwa di negeri yang sangat tercela hukumnya ini, sudah ada kebangkitan baru. Penjahat yang paling kejam, sudah diberikan seorang pembela yang perkasa seperti Mike Tyson, itu bukan istilahku, aku pinjam dari apa yang diobral para pengamat keadilan di koran untuk semua sepak-terjangku, sebab aku selalu berhasil memenangkan semua perkara yang aku tangani.

Aku ingin berkata tidak kepada negara, karena pencarian keadilan tak boleh menjadi sebuah teater, tetapi mutlak hanya pencarian keadilan yang kalau perlu dingin danbeku. Tapi negara terus juga mendesak dengan berbagai cara supaya tugas itu aku terima. Di situ aku mulai berpikir. Tak mungkin semua itu tanpa alasan. Lalu aku melakukan investigasi yang mendalam dan kutemukan faktanya. Walhasil, kesimpulanku, negara sudah memainkan sandiwara. Negara ingin menunjukkan kepada rakyat dan dunia, bahwa kejahatan dibela oleh siapa pun, tetap kejahatan. Bila negara tetap dapat menjebloskan bangsat itu sampai ke titik terakhirnya hukuman tembak mati, walaupun sudah dibela oleh tim pembela seperti aku, maka negara akan mendapatkan kemenangan ganda, karena kemenangan itu pastilah kemenangan yang telak dan bersih, karena aku yang menjadi jaminannya. Negara hendak menjadikan aku sebagai pecundang. Dan itulah yang aku tentang.

Negara harusnya percaya bahwa menegakkan keadilan tidak bisa lain harus dengan keadilan yang bersih, sebagaimana yang sudah Anda lakukan selama ini."

Pengacara muda itu berhenti sebentar untuk memberikan waktu pengacara senior itu menyimak. Kemudian ia melanjutkan.

"Tapi aku datang kemari bukan untuk minta pertimbanganmu, apakah keputusanku untuk menolak itu tepat atau tidak. Aku datang kemari karena setelah negara menerima baik penolakanku, bajingan itu sendiri datang ke tempat kediamanku dan meminta dengan hormat supaya aku bersedia untuk membelanya."

"Lalu kamu terima?" potong pengacara tua itu tiba-tiba.Pengacara muda itu terkejut. Ia menatap pengacara tua itu dengan heran."Bagaimana Anda tahu?"

Pengacara tua mengelus jenggotnya dan mengangkat matanya melihat ke tempat yang jauh. Sebentar saja, tapi seakan ia sudah mengarungi jarak ribuan kilometer. Sambil menghela napas kemudian ia berkata: "Sebab aku kenal siapa kamu."

Pengacara muda sekarang menarik napas panjang."Ya aku menerimanya, sebab aku seorang profesional. Sebagai seorang pengacara aku tidak bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar aku melaksanakan kewajibanku sebagai pembela. Sebagai pembela, aku mengabdi kepada mereka yang membutuhkan keahlianku untuk membantu pengadilan menjalankan proses peradilan sehingga tercapai keputusan yang seadil-adilnya."

Pengacara tua mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti."Jadi itu yang ingin kamu tanyakan?""Antara lain.""Kalau begitu kau sudah mendapatkan jawabanku."Pengacara muda tertegun. Ia menatap, mencoba mengetahui apa yang ada di dalam lubuk hati orang tua itu."Jadi langkahku sudah benar?"Orang tua itu kembali mengelus janggutnya.

"Jangan dulu mempersoalkan kebenaran. Tapi kau telah menunjukkan dirimu sebagai profesional. Kau tolak tawaran negara, sebab di balik tawaran itu tidak hanya ada usaha pengejaran pada kebenaran dan penegakan keadilan sebagaimana yang kau kejar dalam profesimu sebagai ahli hukum, tetapi di situ sudah ada tujuan-tujuan politik. Namun, tawaran yang sama dari seorang penjahat, malah kau terima baik, tak peduli orang itu orang yang pantas ditembak mati, karena sebagai profesional kau tak bisa menolak mereka yang minta tolong agar kamu membelanya dari praktik-praktik pengadilan yang kotor untuk menemukan keadilan yang paling tepat. Asal semua itu dilakukannya tanpa ancaman dan tanpa sogokan uang! Kau tidak membelanya karena ketakutan, bukan?""Tidak! Sama sekali tidak!""Bukan juga karena uang?!""Bukan!""Lalu karena apa?"Pengacara muda itu tersenyum."Karena aku akan membelanya.""Supaya dia menang?"

"Tidak ada kemenangan di dalam pemburuan keadilan. Yang ada hanya usaha untuk mendekati apa yang lebih benar. Sebab kebenaran sejati, kebenaran yang paling benar mungkin hanya mimpi kita yang tak akan pernah tercapai. Kalah-menang bukan masalah lagi. Upaya untuk mengejar itu yang paling penting. Demi memuliakan proses itulah, aku menerimanya sebagai klienku."Pengacara tua termenung."Apa jawabanku salah?"Orang tua itu menggeleng.

"Seperti yang kamu katakan tadi, salah atau benar juga tidak menjadi persoalan. Hanya ada kemungkinan kalau kamu membelanya, kamu akan berhasil keluar sebagai pemenang."

"Jangan meremehkan jaksa-jaksa yang diangkat oleh negara. Aku dengar sebuah tim yang sangat tangguh akan diturunkan."

"Tapi kamu akan menang.""Perkaranya saja belum mulai, bagaimana bisa tahu aku akan menang."

"Sudah bertahun-tahun aku hidup sebagai pengacara. Keputusan sudah bisa dibaca walaupun sidang belum mulai. Bukan karena materi perkara itu, tetapi karena soal-soal sampingan. Kamu terlalu besar untuk kalah saat ini."

Pengacara muda itu tertawa kecil."Itu pujian atau peringatan?""Pujian.""Asal Anda jujur saja.""Aku jujur.""Betul?""Betul!"

Pengacara muda itu tersenyum dan manggut-manggut. Yang tua memicingkan matanya dan mulai menembak lagi."Tapi kamu menerima membela penjahat itu, bukan karena takut, bukan?"

"Bukan! Kenapa mesti takut?!""Mereka tidak mengancam kamu?""Mengacam bagaimana?""Jumlah uang yang terlalu besar, pada akhirnya juga adalah sebuah ancaman. Dia tidak memberikan angka-angka?"

"Tidak."Pengacara tua itu terkejut."Sama sekali tak dibicarakan berapa mereka akan membayarmu?""Tidak.""Wah! Itu tidak profesional!"Pengacara muda itu tertawa."Aku tak pernah mencari uang dari kesusahan orang!""Tapi bagaimana kalau dia sampai menang?"Pengacara muda itu terdiam."Bagaimana kalau dia sampai menang?""Negara akan mendapat pelajaran penting. Jangan main-main dengan kejahatan!""Jadi kamu akan memenangkan perkara itu?"Pengacara muda itu tak menjawab."Berarti ya!""Ya. Aku akan memenangkannya dan aku akan menang!"

Orang tua itu terkejut. Ia merebahkan tubuhnya bersandar. Kedua tangannya mengurut dada. Ketika yang muda hendak bicara lagi, ia mengangkat tangannya.

"Tak usah kamu ulangi lagi, bahwa kamu melakukan itu bukan karena takut, bukan karena kamu disogok.""Betul. Ia minta tolong, tanpa ancaman dan tanpa sogokan. Aku tidak takut."

"Dan kamu menerima tanpa harapan akan mendapatkan balas jasa atau perlindungan balik kelak kalau kamu perlukan, juga bukan karena kamu ingin memburu publikasi dan bintang-bintang penghargaan dari organisasi kemanusiaan di mancanegara yang benci negaramu, bukan?"

"Betul.""Kalau begitu, pulanglah anak muda. Tak perlu kamu bimbang.

Keputusanmu sudah tepat. Menegakkan hukum selalu dirongrong oleh berbagai tuduhan, seakan-akan kamu sudah memiliki pamrih di luar dari pengejaran keadilan dan kebenaran. Tetapi semua rongrongan itu hanya akan menambah pujian untukmu kelak, kalau kamu mampu terus mendengarkan suara hati nuranimu sebagai penegak hukum yang profesional."

Pengacara muda itu ingin menjawab, tetapi pengacara tua tidak memberikan kesempatan."Aku kira tak ada yang perlu dibahas lagi. Sudah jelas. Lebih baik kamu pulang sekarang. Biarkan aku bertemu dengan putraku, sebab aku sudah sangat rindu kepada dia."

Pengacara muda itu jadi amat terharu. Ia berdiri hendak memeluk ayahnya. Tetapi orang tua itu mengangkat tangan dan memperingatkan dengan suara yang serak. Nampaknya sudah lelah dan kesakitan.

"Pulanglah sekarang. Laksanakan tugasmu sebagai seorang profesional.""Tapi..."

Pengacara tua itu menutupkan matanya, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. Sekretarisnya yang jelita, kemudian menyelimuti tubuhnya. Setelah itu wanita itu menoleh kepada pengacara muda."Maaf, saya kira pertemuan harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu banyak beristirahat. Selamat malam."

Entah karena luluh oleh senyum di bibir wanita yang memiliki mata yang sangat indah itu, pengacara muda itu tak mampu lagi menolak. Ia memandang sekali lagi orang tua itu dengan segala hormat dan cintanya. Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga wanita itu, agar suaranya jangan sampai membangunkan orang tua itu dan berbisik.

"Katakan kepada ayahanda, bahwa bukti-bukti yang sempat dikumpulkan oleh negara terlalu sedikit dan lemah. Peradilan ini terlalu tergesa-gesa. Aku akan memenangkan perkara ini dan itu berarti akan membebaskan bajingan yang ditakuti dan dikutuk oleh seluruh rakyat di negeri ini untuk terbang lepas kembali seperti burung di udara. Dan semoga itu akan membuat negeri kita ini menjadi lebih dewasa secepatnya. Kalau tidak, kita akan menjadi bangsa yang lalai."

Apa yang dibisikkan pengacara muda itu kemudian menjadi kenyataan. Dengan gemilang dan mudah ia mempecundangi negara di pengadilan dan memerdekaan kembali raja penjahat itu. Bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh. Ia merayakan kemenangannya dengan pesta kembang api semalam suntuk, lalu meloncat ke mancanegara, tak mungkin dijamah lagi. Rakyat pun marah. Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan poster-poster raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan dibakar. Hakimnya diburu-buru. Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi mayat. Tetapi itu pun belum cukup. Rakyat terus mengaum dan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah.

Pengacara tua itu terpagut di kursi rodanya. Sementara sekretaris jelitanya membacakan berita-berita keganasan yang merebak di seluruh wilayah negara dengan suaranya yang empuk, air mata menetes di pipi pengacara besar itu.

"Setelah kau datang sebagai seorang pengacara muda yang gemilang dan meminta aku berbicara sebagai profesional, anakku," rintihnya dengan amat sedih, "Aku terus membuka pintu dan mengharapkan kau datang lagi kepadaku sebagai seorang putra. Bukankah sudah aku ingatkan, aku rindu kepada putraku. Lupakah kamu bahwa kamu bukan saja seorang profesional, tetapi juga seorang putra dari ayahmu. Tak inginkah kau mendengar apa kata seorang ayah kepada putranya, kalau berhadapan dengan sebuah perkara, di mana seorang penjahat besar yang terbebaskan akan menyulut peradilan rakyat seperti bencana yang melanda negeri kita sekarang ini?" ***

Cirendeu 1-3-03

14.6.10

SIPUT DAN LALAT


Suatu hari, Langit begitu Indah & Cerah,
Awal dari Musim Semi yang membahagiakan..

Di bawah Pohon CERI,
Tampak seekor Siput Kecil merayap ke atas perlahan..
Sementara itu, beberapa saat kemudian, muncul seekor Lalat yang terbang kesana kemari dengan ceria sambil memperhatikan si Siput..

Melihat si Siput merayap perlahan,
Sang Lalat berkata :
"Hai, Siput, kamu hendak kemana?"
Dengan tenang, sambil terus merayap,
Si Siput kecil menjawab :
"Mau makan Buah CERI"

"Ha ha ha, Siput Bodoh..
Mana ada Buah CERI?
Aku dari atas sana,
Buah CERInya nggak ada"
Lalat menertawakan perilaku si Siput Kecil..
Kata si Siput Kecil :
"Aku nggak peduli,
Saat aku tiba di atas,
Pohon CERInya pasti sudah berbuah"


Pesan Moral:
Kadang bentuk nyata Tujuan Hidup tidak tampak Jelas..
Namun, mereka yang SUKSES adalah mereka yang Bisa menembus waktu,
Melihat ke depan & tetap Teguh,
Gigih Bergerak untuk mencapai Impiannya..

Orang lain mungkin tidak melihatnya,
Bahkan mungkin mencemooh, karena mereka tidak mengerti..
Orang lain akan berusaha menjatuhkan semangat Anda..

Namun pada saat Anda mencapai impian Anda,
Pada saat Anda memperoleh Buah CERI yang Anda inginkan,
Barulah mereka mengerti bahwa Impian Anda bukanlah Khayalan semata..

Karena itu, Jangan biarkan orang lain merebut mimpi Anda sebelum terwujud..
Beranilah Bermimpi
& Tetaplah TEGUH Bergerak untuk meraih mimpi tersebut..